TRIBUNNEWS.COM, GARUT - Selama lima jam, Mimin (48), bersama anak kelimanya harus bertahan di atap rumah. Ia terkatung-katung meminta pertolongan saat rumahnya terendam banjir.
Mimin menjadi salah satu korban banjir bandang yang menimpa Garut. Sebanyak tujuh kecamatan di Kabupaten Garut menjadi wilayah terdampak banjir bandang.
Bersama anak kelimanya, ia memilih untuk naik ke atap rumah. Sementara satu anak dan menantunya terbawa hanyut saat banjir bandang melanda Kabupaten Garut, Selasa (20/9) malam.
Sejak pukul 22.00, warga Kampung Bojongsudika, Desa Haurpanggung, Kecamatan Tarogong Kidul itu terpaksa naik ke atas atap. Luapan air tiba-tiba memenuhi rumahnya. Bahkan ketinggian air mencapai 2,5 meter.
Saat kejadian, Mimin telah tertidur. Apalagi hujan telah terjadi sejak pukul 19.30. Ia tak menyangka jika banjir besar melanda kampungnya.
"Atap rumah saya saja hampir kerendam air. Saya teriak-teriak minta tolong tapi tidak ada yang menyelamatkan. Soalnya arus air sangat deras," ucap Mimin saat menunggu jasad anaknya di RS Guntur, Rabu (21/9).
Mimin masih terlihat tegar walau anak sulungnya atas nama Feri (20) ditemukan tewas. Namun Mimin masih khawatir karena menantunya atas nama Siti masih belum ada kabar.
"Semua barang-barang ludes. Saya hanya mikir untuk menyelamatkan diri," ujarnya.
Mimin menuturkan, air yang datang seperti tsunami. Rumah temboknya pun bergoyang saat banjir terjadi. Sejumlah tetangganya pun banyak yang terbawa hanyut.
Ratusan rumah di bantaran Sungai Cimanuk banyak yang roboh dan terbawa aliran sungai. RSU dr. Slamet, Mapolsek dan Kantor Kecamatan Tarogong Kidul hingga pukul 01.00 masih terendam banjir. Debit air pun meluap hingga ke jalan raya.
Sejumlah pasien di rumah sakit pun terpaksa dievakuasi ke lantai dua. Kendaraan roda empat dilarang untuk melintas beberapa jembatan. Rabu dini hari kepolisian pun menutup jalur dari kawasan Tarogong menuju Garut Kota.
Ikin (76), warga Kampung Leuwidaun, Kelurahan Jayawaras, Kecamatan Tarogong Kidul mengaku jika puluhan rumah di kampungnya terbawa hanyut. Bahkan satu orang warga atas nama Nani (60) terbawa arus sungai bersama rumahnya.
"Ini yang paling parah banjirnya. Sejak pukul 23.00 air mulai datang. Rumah anak saya juga hanyut," kata Ikin.
Di Leuwidaun, satu orang warga atas nama Wawan menolak dievakuasi. Padahal warga sudah memaksa dan melemparkan ban ke arah Wawan agar bisa menyelamatkan diri.
"Kami sudah paksa dia untuk turun. Soalnya sudah banyak rumah yang terbawa hanyut. Pak Wawan hanya diam di atap rumah," ucapnya.
Dirut RSU dr Slamet Garut, Maskut Farid menyebut saat banjir melanda terdapat dua orang pasien yang melahirkan. Pihaknya segera mengevakuasi pasien tersebut ke lantai dua.
"Alhamdulillah ibu dan bayinya selamat. Sekarang juga sudah pulang ke rumahnya," ujar Maskut.
Kedua pasien yang melahirkan atas nama Nurani dan Ine. Dari data rumah sakit, keduanya melahirkan pukul 00.30.
Usai diterjang banjir bandang Selasa malam, kemarin aktivitas RSU dr. Slamet lumpuh. Rumah sakit milik pemerintah itu hanya beraktivitas membersihkan seluruh ruangan dari lumpur.
Maskut menyebut poliklinik dan IGD tak bisa beroperasi karena ruangan masih terendap lumpur. Untuk sementara warga yang harus mendapat perawatan dialihkan ke Rumah Sakit Guntur dan Nurhayati.
"Sebanyak 124 pasien kami evakuasi ke lantai dua. Untuk total pasien yang ada sebanyak 309 orang," kata Maskut.
Untuk penanganan sejumlah operasi yang tak terlalu gawat, lanjut Maskut, ditunda terlebih dulu. Namun untuk operasi yang sangat gawat masih bisa dilakukan.
Terkait kerugian yang dialami akibat banjir bandang, Maskut menyebut sebesar Rp 19,955 miliar. Kerugian paling besar dari kerusakan alat kedokteran.
"Untuk bisa kembali normal membutuhkan waktu sekitar satu bulan. Tapi kami usahakan secepatnya bisa mulai menerima pasien," ujarnya. (tribun jabar/wij)