TRIBUNNEWS.COM, AMLAPURA - Wayan Nata (28) dan Ni Ketut Nopiantari (24) masih merasakan duka mendalam.
Pasangan suami istri ini tak kuasa menahan kesedihannya setelah ditinggal anak keduanya yang baru berusia lima bulan, Kadek Yoga Pranata.
Saat ditemui Tribun Bali di rumahnya, Banjar Abang Kaler, Desa/Kecamatan Abang, Karangasem, Rabu (28/12/2016) siang, tampak wajah keduanya memerah dan mata mereka masih sembab.
Masih ada butir-butir airmata berlinang di pipi mereka.
Nata dan Nopiantari terus menerus memegang jenazah anaknya yang berada di atas pelangkan (tempat tidur) beralas tikar.
Bayi umur 5 bulan, I Kadek Yoga Pranata, menangis saat dipangku ibunya di kediamannya di Karangasem, Selasa (20/12/2016). foto: Tribun Bali/Saiful Rohim
Yoga yang menderita penyakit hidrosefalus (kepala membesar) menghembuskan napas terakhir di RSUP Sanglah pada Selasa (27/12/2016) sekitar pukul 23.00 Wita.
Namun, orangtua menilai kematian Yoga tak wajar.
Nopiantari menduga, Yoga meninggal setelah diberi obat penurun panas kadaluwarsa jenis paracetamol.
Saat itu, Yoga baru saja usai menjalani operasi kepala.
“Ke Rumah Sakit Sanglah tanggal 23 Desember. Operasi tanggal 24 Desember dari pukul 03.00 sampai 06.00 Wita. Setelah operasi perawat memberi paracetamol yang masa berlakunya hingga November 2016. Tanggal 25-26 Desember badan Kadek Yoga panas sampai 40.9,” terang Nopiantari dengan terbata-bata.
Sebelum diberi paracetamol, kata Nopiantari, kondisi Yoga cukup baik.
Hanya saja kepalanya masih besar seperti dulu. Wajahnya terlihat bahagia. Beberapa kali Yoga tertawa karena guyonan dari keluarga.
Saat minum air susu ibu (ASI) terlihat lancar tanpa ada hambatan apapun.
Setelah diberi obat, Nopi mengaku sempat bertanya ke sang perawat. Tapi tidak direspons.
Karena tidak paham tentang dunia kesehatan, wanita ibu rumah tangga ini hanya diam.
Setelah panas Yoga makin parah, Nopi kembali menanyakan kepada sang perawat. Tapi lagi-lagi tidak digubris.
Nopi pun menduga kematian si anak karena paracetamol kadaluwarsa.
“Bukannya hilang malah tambah panas. Selama dua hari tidak bisa beristirahat. Diberi obat antibiotik dan cairan tapi tidak turun panasnya. Minum ASI tidak seperti biasanya,” kata Nopi.
Sang suami, Wayan Nata, juga mengutarakan hal sama.
Nata sapaannya mengaku hingga kini masih heran dengan kematian sang anak.
Ia tidak tahu apa penyebab kematian si buah hati.
“Sebelum Kadek Yoga meninggal, saya sempat mimpi rumah keluarga diterpa angin kencang. Pintu kamar rumah saya rusak hingga lepas. Mungkin makna mimpi itu arahnya ke sini,” tutur Nata.
Nata hanya bisa pasrah dengan kematian anaknya.
Ia merasa tak punya "kekuatan" untuk mencari tahu apa sebenarnya yang terjadi.
"Sekarang saya hanya berharap anak saya tenang di alam sana," lirihnya.
Yoga menderita hidrosefalus sejak masih berumur satu bulan.
Awalnya, Yoga ditimpa pelangkiran (tempat meletakkan sesaji dalam kamar) saat baru berusia 20 hari.
Sejak itu Yoga mengalami kejang-kejang. Sang bayi kemudian dilarikan ke RSUD Karangasem hingga dirujuk ke RSUP Sanglah.
Setelah mendapat perawatan 29 hari, Yoga disuruh operasi.
Karena tidak punya biaya, orangtuanya membawa Yoga pulang. Operasi pun urung dilakukan.
Alhasil, makin hari kepala Yoga makin besar. Bahkan besarnya mencapai 61 centimeter, dari awalnya hanya 30 centimeter.
Hampir tiap hari Yoga menangis karena tak kuasa menahan rasa sakit.
Setelah mendapat sejumlah bantuan, orangtua kemudian membawa Yoga ke RSUP Sanglah untuk menjalani operasi.
Namun sayang, usai menjalani operasi Yoga justru harus menghembuskan napas terakhirnya.
Yoga rencananya dikubur dua hari lagi di Setra Desa Adat Abang. Jenazah bayi mungil ini tak bisa dikubur Rabu kemarin karena bertepatan dengan Rahinan Tilem Kanem.
Menurut aturan desa setempat, warga dilarang mengubur jenazah atau ngaben saat tilem. (tribun bali/saiful rohim)