TRIBUNNEWS.COM, DELI SERDANG - Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Drs. Suhardi Alius, MH, meresmikan masjid dan ruang belajar di Pondok Pesantren Al-Hidayah, di Sei Mencirim, Kec. Kutalimbaru, Kab. Deli Serdang, Sumatera Utara, Jumat (24/2/2017).
Pondok Pesantren Al-Hidayah ini dibina oleh mantan terpidana kasus terorisme, Khairul Ghazali, dimana dia pernah terlibat dalam kasus perampokan Bank CIMB Niaga pada tahun 2010 silam
“Saya ucapkan terima kasih kepada orang-orang yang terlibat dalam pembangunan masjid ini. Pembangunan masjid ini merupakan bukan anggaran dari negara tapi anggarannya berasal dari orang orang dermawan,donatur dan tergerak hatinya untuk membantu pembangunan masjid.” kata Komjen Suhardi Alius dalam sambutannya.
Alumni Akpol tahun 1985 ini mengatakan bahwa, penanggulangan terorisme bukan hanya menembak, menangkap tapi dengan menghadirkan negara di tengah masyarakat salah satunya melalui pembangunan masjid di tengah-tengah masyarakat.
“Dengan hadirnya masjid maka doktrin doktrin yang tidak baik akan dengan mudah dihindari. Kita komitmen, negara hadir untuk menanggulangi terorisme. Ini bentuk dan komitmen dalam rangka mencegah paham radikalisme,” tutur mantan Sekretaris Utama (Sestama Lemhanas ini.
Lebih lanjut mantan Kabareskrim Polri ini menjelaskan, masjid ini hadir untuk mendidik anak anak dari doktrin doktrin yang tidak benar. Karena sebagian besar para santri yang ada di pesantren tersebut adalah anak-anak dari para pelaku tindak pidana terorisme.
“Anak-anak harus diberi pendidikan yang baik dan benar agar terhindar dari paham dan aksi terorisme. Dimana pembina dari pesantren ini adalah ustad Khairul Ghazali yang pernah menjadi pelaku. Dia (Ghazali ) yang akan memberikan pemahaman yang benar kepada anak-anak di pesantren ini bahwa jihad yang benar itu bukan merampok atau melakukan teror,” ujar mantan Kapolda Jawa Barat ini.
Oleh karena itu, menurutnya, keberadaan pesantren Al-Hidayah membuktikan komitmen BNPT dan masyarakat untuk mencegah dan mewaspadai bahaya terorisme.
“Ini juga sebagai wujud komitmen dan komunikasi yang baik antara BNPT dengan warga sekitar Pondok Pesantren dalam mendukung program nasional pemerintah sekaligus sebagai kepentingan BNPT dalam melakukan pembinaan, pencegahan sekaligus waspada terhadap bahaya radikalisme dan terorisme,” jelasnya.
Pria yang juga pernah menjabat sebagai Kepala Divisi Humas Polri ini juga mengatakan kalau pembangunan masjid dan pesantren yang juga menjadi bagian dari upaya BNPT dalam menjalankan program deradikalisasi dalam membina mantan narapaidana kasus terorisme dan keluarganya ini tidak akan berhenti sampai disini saja. Program ini akan berlanjut ke Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur.
“Di Jawa Timur kami akan bicara dengan Ali Fauzi (mantan pelaku teror yang juga adik kandung dari terpiudana mati kasus bom Bali, Amrozi) mengenai rencana ini. Jadi ini bukan sekedar wacana, kita langsung aksi. Masjid ini kita bangun selama 5 bulan. Menaranya saja dikerjakan selama 11 hari 24 jam nonstop,” urai mantan Wakapolda Metro Jaya ini.
Sementara itu mantan napi terorisme yang kini telah ‘banting setir’ kembali ke jalan yang benar, Khairul Ghazali, menyatakan bahwa dalam dirinya saat ini Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati. Melalui sebuah pantun, ia tegaskan bahwa dulu ia memang sempat mencita-citakan khilafah, namun kini ia pasang harga mati untuk NKRI.
“Saya bersyukur bahwa keinginan saya untuk kembali ke jalan yang benar mendapat dukungan penuh dari pemerintah. Untuk itu saya juga mengajak rekan-rekan saya untuk meninggalkan paham kekerasan dan kembali ke jalan kedamaian seperti yang diajarkan Islam,” ujar Khairul Ghazali.
Meski begitu, ia menegaskan bahwa radikalisme dan terorisme tidaklah sesuatu yang tiba-tiba terjadi. Ada proses panjang yang menyebabkan radikalisme dan terorisme lahir dan berkembang. Ini juga berarti bahwa penanggulangan terorisme tidak bisa dilakukan dengan singkat pula.