TRIBUNNEWS.COM – Di Penghujung Maret 2017, para aktivis lingkungan dari Greenpeace, Walhi, dan Jatam, menyentak perhatian publik melalui aksi memanjat crane kapal setinggi 12 meter dan membentangkan spanduk bertuliskan END COAL.
Aksi itu dilakukan saat pagi-pagi buta, setelah mereka mengarungi perairan Roban timur menuju kapal crane miliki PT Bhimasena Power Indonesia, yaitu perusahaan yang mengerjakan proyek PLTU Batubara di Batang, Jawa Tengah.
Lantas, apa pesan di balik aksi tersebut? Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga Produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Ratusan nelayan Desa Alas Roban Timur, Batang, Jawa Tengah, bersama puluhan aktivis yang tergabung dalam koalisi Break Free; Greenpeace, Walhi, dan Jatam, bersiap ke perairan Roban Timur di akhir Maret lalu.
Pada pagi-pagi buta yang di sertai rintik hujan, mereka menembus dingin angin laut menuju tengah laut.
Bukan hendak menangkap ikan, mereka hendak menduduki alat berat milik PT Bhimasena Power Indonesia (PBI) yang mengerjakan proyek Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbahan bakar batubara terbesar di Asia Tenggara.
Aksi ini merupakan desakan penghentian energi berbahan batubara ini, bukan tanpa alasan.
Sriyono, nelayan setempat, mengatakan penghasilannya terus melorot akibat pengerjaan konstruksi awal PLTU Barang lantaran perusahaan membuang lumpurnya ke laut. Dampaknya, ia kesulitan mencari ikan.
“Sekarang itu perusahaan kalau membuang lumpur ke tengah laut. Nelayan yang tidak punya GPS kadang-kadang nyasar ke situ. Kalau nyasar, jaring nelayan tersangkut di lumpur dan tidak bisa diambil,”ungkap Sriyono.
“Biasanya penghasilan sampai sejuta, sekarang paling-paling 600 ribu sampai 700 ribu. Dipotong perbakalan sekitar 200 ribu solar dan sebagainya, “ungkap Sriyono.
Sriyono yang menjadi generasi ketiga nelayan di Alas Roban Timur, juga bercerita harus merogoh kocek hingga Rp 2 juta untuk memperbaiki jaring yang rusak karena lumpur.
Belum lagi, ongkos membeli bahan bakar jadi bertambah sekirar 100 ribu- 200 ribu dikarenakan mesti melaut lebih jauh dari biasanya.
“Kalau dulu, hanya 10 menit sampai 15 menit saja di luat bisa dapat ikan. Kalau sekarang 30 menit hingga 1 jam," sambungnya.
Di Alas Roban Timur, ada sekitar 150 keluarga nelayan. Roban sendiri adalah nama sebuah dusun nelayan di muara Sungai Kaliboyo. Secara administratif, dusun Roban timur termasuk wilayah Desa Sengon.
Desa Sengon, berada di pinggir pantai. Rumah-rumahnya terbilang rapi dengan dinding bertembok semen. Ada pula balai pertemuan yang menjadi tempat berkumpul nelayan.
Sejak turun temurun pula, tangkapan ikan mereka tak pernah berkurang. Tapi sejak pembangunan PLTU Batang dimulai pada Juni 2016, semua berubah.
Nelayan yang menolak, lalu menggelar aksi. Tak hanya itu, mereka bahkan sampai melipir ke Cilacap dan Rembang daerah yang sama-sama digasak PLTU.
Hasilnya? Kehidupan nelayan di dua wilayah itu jadi susah. Padahal tadinya sejahtera. Para nelayan di sana, malah kadang mengejar ikan ke Roban.
Melihat potret buram itu, nelayan di Alas Roban, kian yakin menolak PLTU. Dan kian menggencarkan aksi ke pemda, kementerian terkait, hingga DPR. Namun, nol besar. Karena PLTU terus saja berlanjut.
PLTU Batang sendiri merupakan megaproyek berskema Public Privat Partnership atau Kerja sama Pemerintah dan Badan Usaha.
Total, ada sembilan proyek yang ditandatangani dalam kerjasama tersebut, di antaranya PLTU Batang, Palapa Ring Barat, Jalan Tol Manado-Bitung, dan Jalan Tol Batang-Semarang.
Untuk pembiayaan PLTU Batang sebesar Rp40 triliun, pemerintah menggandeng Japan Bank for International Cooperation (JBIC).
Dimana pengerjaannya diserahkan pada PT Bhimasena Power Indonesia (BPI) yang merupakan konsorsium Electric Power Development.Ltd (J-Power), PT Adaro Power (AP), dan Itochu Corporation.
PLTU Batang pun digadang-gadang bakal mumpuni menjaga pasokan listrik di Pulau Jawa lantaran kapasitasnya yang mencapai 2x1.000 MegaWatt.
Dan dalam hitungan PT BPI, pembangkit ini akan rampung pada Juni 2020. Tapi Presiden Joko Widodo, minta dipercepat setahun.
Hingga kini, PLTU Batang masih dalam tahap pra-konstruksi; pondasi, kantor sementara, tiang pancang, serta dermaga atau sekitar 20 persen dari keseluruhan pembangunan.
Kembali ke nelayan. Komari, menuturkan saat musim panen, ikan justru turun drastis. Dari biasanya ia bisa meraup Rp10 juta-Rp15 juta sekali melaut, kini hanya Rp3-Rp5 juta.
“Musim biasanya saat bulan dua. Angin dari darat itu panen. Jakarta banjir hujan, nah di sini itu panen, “ungkap Komari.
Sementara Sriyono, dan nelayan lainnya sudah kehabisan harap. Saat Presiden Jokowi ke lokasi ini pula, nelayan tak dibiarkan mendekat.
“Pak Jokowi dulu sempat ke sini, tapi warga mau mendekat saja tidak bisa karena dihalangi sama satpam dan polisi. Kapal-kapal kecil juga mau turun menyampaikan aspirasi tapi dihalangi, “tuturnya.
Nelayan tak bisa dipisahkan dari laut. Dan yang mereka khawatirkan jika PLTU sudah beroperasi ikan di perairan Roban hilang karena airnya tercemar dan terganggu aktivitas PLTU.
Melanjutkan PLTU Batang, bagi nelayan sama saja dengan menghabisi generasi nelayan seperti Sriyono.
Penulis : Sasmito/ Sumber : Kantor Berita Radio (KBR)