Dijelaskan Martono, kronologis dari kejadian yang menimpa korban tersebut diawali dari SMS di handphone yang diterima korban pada bulan September 2016 lalu.
Selanjutnya korban membalas SMS tersebut yang ternyata berasal dari tetangganya sendiri itu. Selanjutnya pelaku mengajak bertemu korban untuk diajak ke rumahnya.
Korban yang masih anak-anak sempat ketakutan karena tahu rumah pelaku dalam kondisi kosong karena istrinya ada di Madura. Namun setelah bujuk rayu pelaku melalui SMS akhirnya korban bersedia diajak bertemu dan dijemputlah korban dengan mobil oleh pelaku.
Sesampai di rumah yang memang kosong, pelaku langsung membawa masuk korban ke kamarnya dan mengunci pintu. Sebelum itu, pelaku sempat memutar musik dengan keras di rumah tersebut. Di dalam kamar, pelaku melakukan pencabulan meski korban meronta dan berteriak.
"Diduga, selain melakukan pencabulan pelaku juga menyetubuhi korban di dalam kamar, tapi itu tidak diakui pelaku," ucap Martono.
Setelah itu, ungkap Martono, korban tidak berani bercerita kepada keluarganya. Namun korban diketahui hamil. Kehamilan itu membuat gempar warga Desa Putukrejo dan sempat dibawa dalam rapat di Kantor Kepala Desa.
Dalam pertemuan tersebut pelaku tidak mengaku telah melakukan perbuatan persetubuhan pada korban. Dan korban pun mengaku hanya satu kali itu saja berhubungan dengan pelaku, tidak ada orang lain yang melakukannya.
"Upaya perdamaian itu pun gagal, meski keluarga korban bisa menerima jika hanya dijadikan istri siri pelaku," tandas Martono.
Lagi-lagi, tambah Martono, pelaku tetap tidak mau mengakui perbuatan bersetubuh dengan korban, dan hanya berbuat cabul. Bahkan, pelaku sempat menantang keluarga korban menempuh jalur hukum bila masih tidak terima.
"Itulah yang membuat kami terpanggil membela korban yang kondisinya serba kekurangan dan menderita. Makanya kami berharap UPPA Polres Malang memproses kasus tersebut hingga ke Pengadilan. Kami hanya mengharapkan keadilan bagi korban dan anak yang dilahirkan ada status ayahnya demi masa depannya," tutur Martono.