Untuk mengetahui lebih dalam kehidupannya, Tribun Jabar berkesempatan bertemu langsung Suku Togutil Tayawi oleh seorang polisi kehutanan di Blok Aketajawe.
Tribun bertemu Keluarga Lelenge. Saat ditemui Lelenge dan istrinya, Onya serta anaknya Yulina tengah bersantai di rumah tradisionalnya.
Rumah keluarga ini terbuat dengan material dari tanaman di sekitar hutan. Sebagai tiang penyangga, hanya kayu biasa tanpa dirapikan. Sedangkan atapnya terbuat dari tumpukan Daun Woka.
Uniknya, rumah ini tidak diberi bilik di sisinya. Hanya papan sebagai tempat tidur dan tempat menaruh barang-barangnya. Sekilas, rumah Suku Togutil mirip dengan gubuk yang ada di persawahan. Mereka menyebut rumahnya dengan bahasa Tobelo asli dengan sebutan Otau.
Mereka memanfaatkan daun woka untuk gayung, memakan dan memasak. Daun woka ini dibentuk seperti mangkuk. Jika untuk memasak, anehnya daun woka ini tidak akan terbakar oleh api.
Senjata mereka untuk pertahanan diri atau pun berburu ada tiga. Yakni Parang yang sering disebut Odiah, Panah atau sering disebut Otoimi dan Tumbak yang sering disebut Ohokiki.
Lantaran keterbatasan bahasa untuk berkomunikasi, Tribun menemui tokoh adat Togutil Tayawi, Anton Jumati. Ia lumayan fasih berbahasa Indonesia karena statusnya sebagai orang luar tapi menikahi perempuan Suku Togutil Tayawi.
Anton menjelaskan saat ini di Blok Aketajawe terdapat sekitar 22 Kepala Keluarga Suku Togutil Tayawi. sebanyak 7 KK berada di wilayah Air Terjun Bairorai dan sisanya di Tayawi, wilayah Anton tinggal.
Sebelum mengenal agama, Suku Togutil Tayawi ini memiliki nama dengan nama-nama pepohonan yang ada di wilayah permukimannya. Di mana, setiap ibu melahirkan di sekitar pohon, anaknya akan diberi nama seperti pohon yang ada di sekitarnya.
"Setelah mengenal agama, namanya sedikit berubah. Sudah tidak memakai nama pepohonan lagi. Saat meninggal juga sudah tidak disandarkan kepada pohon. Tapi sekarang dikuburkan," kata dia.