TRIBUNNEWS.COM, GROBOGAN - Warga Desa Cekel, Kecamatan Karangrayung, Kabupaten Grobogan, Jawa Tengah menggali tanah bertaruh nasib mencari sumber air bersih yang kemungkinan masih tersisa di dalam tanah sungai yang menjadi daratan.
Dari liang sebesar tong sampah itu perlahan digenangi air lalu diciduk menggunakan gayung untuk kemudian diisikan ke dalam jeriken dan gentong.
Untuk memenuhi satu jeriken kemasan 40 liter dbutuhkan waktu paling cepat 10 menit.
Di alur sungai yang gersang itu, sementara baru ada satu petak spot yang dimanfaatkan warga untuk berburu sumber air dari resapan tampungan air sungai.
Biasanya spot akan berpindah-pindah menyesuaikan kondisi, namun masih tetap di alur sungai Desa Cekel.
Ada sepuluh lubang yang masing-masing dikaryakan oleh hampir 100 persen warga sekampung untuk bergiliran.
Baca: 10 Kabupaten di Jateng Sudah Mengalami Kekeringan
Meski airnya keruh, tidak ada pilihan lain, warga tidak mempersoalkannya.
Media penampung air yang sudah terisi, satu per satu diangkut menuju rumah menggunakan motor dan ada juga yang digendong.
Minimal jaraknya ke rumah warga hampir satu kilometer.
Musim kemarau panjang adalah proses perubahan iklim yang berujung mimpi buruk bagi warga Desa Cekel.
Sumur-sumur andalan menjadi kering karena tak ada pasokan air, begitu juga debit air sungai menyusut hingga tandus.
Selama ini, warga Desa Cekel mengandalkan sumur "tadah hujan" guna memenuhi kebutuhan air sehari-hari.
Air bersih yang didistribusikan oleh PDAM setempat tak menjangkau wilayah ini lantaran berlokasi terpencil.
Baca: Objek Wisata Pemandian Mata le di Aceh Besar Kekeringan
Dari Kota Purwodadi menuju Desa Cekel, perjalanan bisa ditempuh sekitar 1,5 jam.
Akses infrastruktur jalan cukup memadai dilintasi kendaraan.
Saat musim penghujan, kebutuhan air tercukupi, namun ketika memasuki musim panas, warga mulai dirundung gelisah.
"Setiap tahun saat kemarau hal inilah yang pasti kami lakukan. Menggali tanah sungai yang kering mencari sisa-sisa air. Mau bagaimana lagi, sumur juga sudah tak diisi hujan," kata Suwarti (65), warga Desa Cekel kepada Kompas.com, Minggu (3/9/2017).
Dalam sehari, Suwarti yang hidup sebatang kara itu harus bolak-balik dua kali berjalan kaki dari lokasi pengambilan air ke rumahnya yang jaraknya mencapai 2 kilometer.
Suwarti baru berhenti untuk beristirahat setelah empat gentong yang digendongnya terisi penuh.
"Saya sudah terbiasa seperti ini sejak kecil. Airnya untuk MCK (mandi, cuci, kakus). Saya hanya berharap pemerintah bisa memudahkan kami dalam mendapatkan air bersih," tutur Suwarti.
Kepala Desa Cekel, Sukamto, menjelaskan, kekeringan telah melanda desanya selama empat bulan sejak awal Mei lalu.
Dari 1.100 kepala keluarga atau sekitar 3.500 jiwa warganya, nyata telah merasakan dampak buruk imbas dari musim kemarau.
"Warga Desa Cekel mayoritas bekerja sebagai petani dan setiap rumah rata-rata punya sumur tadah hujan. Untuk yang mampu, saat kemarau seperti ini memilih membeli air di sendang desa tetangga seharga Rp 3.000 per jeriken. Dalam sehari, setiap orang membutuhkan dua jeriken air kemasan 40 liter setiap jerikennya," jelas Sukamto.
Sukamto mengaku jengkel karena sejauh ini Pemerintah Kabupaten Grobogan belum memberi solusi meski sudah berkali-kali diberitahu.
"Selalu saja jawabannya lokasinya jauh dan terpencil. Apa tidak ada solusi? Saya itu sedih melihat kondisi warga saya. Kasihan saja melihatnya, warga fokus mencari air bukan mencari penghasilan. Kebutuhan air saja dari tadah hujan. Kalau kemarau ya untung-untungan kita menggali tanah di sungai keruh yang mengering. Biasanya lubang-lubang yang dibuat di alur sungai Desa Cekel bisa bertahan hingga 5 bulan," katanya.
Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Grobogan, Agus Sulaksono, mengatakan, kondisi kemarau kali ini terhitung lebih parah dibandingkan tahun lalu. Berdasarkan data dari BPBD Kabupaten Grobogan, tercatat sudah ada sejumlah desa dari lima kecamatan (Kradenan, Kedungjati, Karangrayung, Penawangan dan Grobopgan) yang mulai mengalami kekeringan.
" Kekeringan paling parah Desa Cekel Karangrayung karena lokasinya paling jauh. Kami sudah siapkan anggaran Rp 135 juta untuk hadapi kekeringan melalui peyediaan droping air. Semua desa yang alami kekeringan umumnya lokasi terpencil sehingga tidak terjangkau PDAM. Kami sedang kaji bersama masalah ini," pungkasnya. (Kontributor Grobogan, Puthut Dwi Putranto Nugroho)
Berita ini sudah tayang di Kompas.com berjudul Berburu Setetes Air di Sungai Keruh yang Telah Mengering