Meski tergolong banyak, kata dia tidak gampang untuk melihat hewan tersebut apalagi di siang hari, kecuali bertepatan hewan tersebut melintas di dekat kawasan perkebunan.
"Paling sering malam hari, itu pun yang kelihatan hanya matanya yang menyala ketika tersorot cahaya senter," kata dia.
Baca: Diterkam Buaya saat Menjaring Ikan, Begini Kondisi Jasad Nelayan Asal Palu
Dari pengalaman tersebut memunculkan segudang ide di kepalanya untuk mengembangkan penangkaran buaya. Apalagi daerahnya memiliki potensi hutan bakau yang sudah dikenal secara luas.
"Kalau disandingkan wisata bakau dan penangkaran buaya, kami pikir akan menjadi daya tarik tersendiri bagi dunia pariwisata Sulut," jelasnya.
Meski masyarakat telah hidup berdampingan dengan predator tersebut selama berpuluh - puluh tahun, sejauh ini belum ada korban jiwa akibat dimangsa buaya.
Kalau kejadian digigit buaya, kata dia pernah sekali terjadi di desanya. Ada warga yang ingin buang air besar di belakang rumah kemudian menginjak punggung buaya karena dikira sebatang pohon.
"Tak diduga, ternyata dia duduk di atas badan buaya dan akhirnya digigit di bokongnya. Dengan kejadian tersebut warga semakin waspada akan keberadaan buaya," cerita Sangadi.
Saharudin Sahid, Ketua RT Desa Deaga, mengaku sering melihat buaya tersebut. Dia bertugas sebagai pemandu peneliti mangrove yang sering berkunjung ke desanya yang berada di ujung timur Kecamatan Pinteng.
"Sering kita jumpai hewan ini saat sedang berkeliling mangrove. Kalau lihat manusia dia langung turun kedalam air, tidak berbahaya asalkan jangan diganggu," kata dia.
Desa Deaga merupakan desa yang memiliki lahan mangrove terbesar di Kabupaten Bolsel. Luasnya kurang lebih 162 hektar, dan memiliki 17 jenis spesies yang menghuni mangrove.
Kemudian menjadi salah satu desa yang masuk dalam daftar 10 Desa wisata di Bolsel.