Tapi menurut Sunandar, pasca pabrik tutup sekitar 2008 lalu profesi rajut ini makin berkembang.
Secara alami, ibu-ibu yang biasa menyetor peci dan tas rajut kepada pabrik bergerak secara mandiri.
Hasil ini berbanding lurus dengan makin banyaknya permintaan pasar akan produk rajut.
Sepatu misalnya, yang kini makin banyak peminat.
Jadilah 90 persen ibu-ibu di Dusun Nogosari berprofesi sebagai perajut.
Hari-hari mereka di rumah, diisi dengan merajut selain mengurus rumah tangga.
Hanya saja, menurut Sunandar, hasil yang dari produksi kerajinan rajut ini masih dibilang pas-pasan.
Dalam satu hari misalnya, seorang ibu rumah tangga hanya bisa mendapatkan pemasukan Rp 20 ribu dari merajut hasil penjualan sepasang sepatu rajut.
Itu karena produksi dilakukan rumahan.
Sedangkan untuk melebarkan sayap sampai ke unit usaha yang lebih besar, sebagian besar ibu-ibu masih belum mahir dalam proses pemasaran dan tentunya modal.
"Jadi sementara ini kita produksi rumahan lalu setor ke pengepul, harganya ya ditentukan pengepul," kata Sunandar.
Meski demikian, ibu-ibu Nogosari merasa usaha rajut ini sudah lebih dari cukup untuk membantu suami dalam mencukupi ekonomi keluarga.
Pasalnya dari sisi waktu, merajut adalan pekerjaan yang fleksibel.
Artinya bisa dikerjakan sembari mengurus rumah tangga di rumah.