Artinya, tidaklah tepat ketika bendesa dan prajuru yang hanya sebagai pelaksana kemudian dituduh melakukan pelanggaran.
"Prajuru bersikap dan melakukan tugasnya atas dasar Awig-awig atau perarem (peraturan desa adat Bali). Jadi tidak bisa kemudian dipersangkakan. Belum bisa dibuktikan bahwa uang desa itu untuk kepentingan Pribadi Yonda selaku Bendesa Adat atau untuk prajuru atau pengurusnya," tegasnya.
Terkait dengan tuduhan reklamasi yang dilakukan oleh Bendesa Adat.
Pada dasarnya, yang dilakukan pemotongan pohon Mangrove adalah untuk kelestarian Pura Gading dari abrasi.
Pendek kata, kata dia, itu terlebih hanya kesalahan administratif, atau kelengkapan perijinan. Bukan menjadi kesalahan pidana seperti yang diproses saat ini.
Singkatnya lagi, apa yang dilakukan oleh Bendesa Adat dan prajuru Desa Adat Tanjung Benoa, kembali lagi adalah kegiatan yang disepakati dalam paruman adat.
Dan dalam UU Pasal 18b, negara wajib hukumnya memberikan penghormatan dalam kesatuan-kesatuan masyarakat adat dengan hak Tradisionalnya. Keberadaannya direpresentasikan dengan desa adat yang ada.
"Sehingga apa yang dilakukan oleh Bendesa Adat tidak menjadi kepentingan pribadinya. Bendesa Adat dilindungi oleh Undang Undang melakukan tindakan itu. Dan semata-mata itu demi menjaga tempat sucinya," paparnya.
Dhamantra menegaskan, bahwa baru pertama kali ini ada tindakan mengadili seorang prajuru atau petugas adat, dari tindakannya atas hasil paruman rapat tertinggi desa adat.
Seharusnya yang diketahui adalah suatu paruman yang diakui oleh konstitusi menjadi keputusan desa adat, tidak bisa diadili atau diperkarakan.
"Maka di sini, saya selaku wakil rakyat dimohonkan penangguhannya. Karena apa yang dilakukan merupakan kegiatan yang dilaksanakan. Dan silahkan saja dilihat di pengadilan bagaimana hasilnya. Dan informasi ini oleh Kajati akan diteruskan kepada Timnya untuk penangguhan Yonda yang kini ditahan di Kerobokan," bebernya. (ang)