TRIBUNNEWS.COM, MADIUN - Aroma tembakau menyeruak di dalam sebuah pabrik tua di Jalan Kutai, Kota Madiun.
Tampak lima orang wanita paro baya tampak sibuk melinting tembakau yang digulung dengan daun jagung menggunakan tangan mereka.
Tangan mereka tampak cekatan, memilir daun jagung kering yang sudah dipotong sedemikian rupa kemudian diisi dengan tembakau racikan.
Setelah dilinting menjadi kerucut, kemudian batangan rokok klobot diikat menggunakan tali plastik berwarna ungu agar lintingan tidak terurai.
Mereka bekerja dengan duduk di lantai beralaskan spon berbentuk kotak menyerupai bantal. Sambil melinting rokok, mereka sesekali bersenda gurau dan saling bercerita.
Kelima wanita paro baya itu merupakan karyawan pabrik rokok klobot merek Grindo yang sudah berdiri sejak 1946. Setiap hari, mereka bekerja dari pukul 06.00 WIB hingga pukul 12.00 WIB.
Parmi (75) seorang karyawan mengaku sudah 50 tahun lebih bekerja di pabrik rokok klobot Grindo.
Nenek empat cucu ini mengatakan, dulunya ada ratusan jumlah karyawan di pabrik itu, namun saat ini tinggal sepuluh orang.
"Dulu karyawannya banyak, ada ratusan jumlahnya. Tapi sekarang tinggal sepuluh orang, "katanya saat ditemui, Jumat (3/11/2017) siang.
Parmi menuturkan, orangtuanya dahulu juga bekerja sebagai karyawan di pabrik itu.
"Ayah saya dulu juga bekerja di sini," ujarnya sambil memotong pangkal batang rokok klobot agar rapih.
Seorang karyawan lain, Katemi (83) mengaku sudah bekerja di pabrik rokok klobot itu sejak awal pabrik itu berdiri.
Ia mengatakan, dalam sehari mampu membuat 1.000 batang rokok klobot dan mendapat upah Rp 30 ribu.
Ia mengatakan, tahun 1954 merupakan masa kejayaan pabrik tempatnya bekerja. Namun, seiring dengan perkembangan jaman, peminat rokok klobot mulai berkurang.
Hal itu membuat banyak karyawan yang terpaksa berhenti bekerja. Saat ini, produksi pun dibatasi. Setiap karyawan hanya melinting 1.000 batang perhari.
"Dulu nggak dibatasi. Sekarang cuma boleh 1.000 batang, satu orang,"kata wanita asal Ponorogo ini.
Sementara itu, Pariyem (95) mengaku sudah bekerja menjadi karyawan pabrik rokok klobot sejak berusia 17 tahun. Wanita asal Nganjuk ini merantau ke Madiun untuk bekerja sebagai karyawan di pabrik rokok.
"Sekarang sudah nggak kuat, sehari paling banyak 500 batang," katanya.
Ia mengatakan, rokok klobot tidak digemari semua kalangan. Rokok klobot yang diproduksi di pabrik rokok klobot Grindo hanya dijual di Ponorogo saja.
Pariyem mengatakan, para penikmat rokok klobot itu adalah para warok di Ponorogo. Selain untuk dihisap, kadang juga digunakan pada saat ritual dan pelengkap sesaji.
"Yang merokok ini warok di Ponorogo. Tapi sekarang tinggal sedikit, sudah banyak yang mati," katanya.
Wasit (82) mantan sopir yang biasa mengirim rokok klobot yang sudah dipacking mengatakan, penjualan rokok klobot kian hari semakin menurun.
"Dulu ketika masih jaya, setiap hari kirim 30-40 bal. Sekarang cuma 10 bal seminggu," kata Wasit yang kini dipercaya sebagai penjaga pabrik.
Selama ini, kata Wasit, rokok klobot merek Grindo hanya dijual di Ponorogo. Ketika ditanya kenapa tidak dipasarkan di daerah lain, Wasit mengaku tidak begitu paham.
"Dijualnya cuma di Ponorogo. Karena di sana masyarakatnya gemar dengan rokok klobot, terutama para warok seniman reog," jelasnya.
Sementara itu, Agus Supriyanto (32) karyawan yang bertugas menyiapkan bahan mengatakan tembakau yang digunakan berasal dari Ngawi. Sebelum dilinting, tembakau diracik langsung oleh pemilik pabrik.
Tembakau kering, dicampur dengan saos, cengkeh, kemudian kemenyan. Setelah itu diaduk-aduk hingga tercampur, baru kemudian dilinting.
"Kalau saosnya apa saja bahannya saya tidak tahu. Soalnya pemiliknya langsung yang membuat," katanya.
Pabrik rokok klobot kian tergerus, seiring dengan keberadaan rokok filter dan juga rokok elektronik.