TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG – Ribuan perangkat desa di Jawa Tengah dan Jawa Timur resah.
Pasalnya, ada dugaan pungutan liar (pungli) dari oknum-oknum sesama perangkat desa sebesar Rp 60 ribu per orang, dengan dalih dana tersebut untuk “mengawal” revisi Peraturan Pemerintah (PP) No 47 Tahun 2015.
Seorang perangkat desa di Kabupaten Madiun, Jatim, yang tak mau disebutkan namanya, mengaku mendapat keluhan dari teman-temannya sesama perangkat desa yang resah akibat adanya dugaan pungli tersebut.
PP 47/2015 itu sendiri merupakan perubahan atas PP No 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 6 Tahun 2014 tentang Desa.
PP ini antara lain menyebutkan, perangkat desa menerima penghasilan tetap setiap bulan, tunjangan, dan penerimaan lainnya yang sah, serta mendapat jaminan kesehatan. Dengan adanya revisi PP itu nanti, maka penghasilan perangkat desa akan disetarakan dengan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Negeri Sipil (PNS) golongan IIA.
Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Hadi Prabowo, saat menemui ribuan perangkat desa yang mengatasnamakan diri Persatuan Perangkat Desa Indonesia (PPDI), yang menggelar aksi unjuk rasa di depan Istana Negara, Jakarta, Selasa (24/10/2017), memberikan lampu hijau atas tuntutan demonstran agar penghasilan perangkat desa disetarakan dengan gaji PNS IIA.
Di sisi lain, sebelum aksi unjuk rasa itu digelar, atau tepatnya pada Senin (16/10/2017), Pengurus Tingkat Nasional (PTN) Persatuan Perangkat Desa Republik Indonesia (PPDRI) menemui pihak Direktorat Jenderal Bina Pemerintahan Desa (Ditjen Pemdes) Kemendagri untuk menyampaikan aspirasi yang sama. Sejumlah pengurus PPDRI dari daerah seperti Bali, Jatim, Jateng, Jawa Barat dan Banten juga ikut dalam pertemuan itu.
“Usulan tertulis yang kami ajukan berdasarkan hasil Munas PPDRI 2016 soal penghasilan perangkat desa agar disetarakan dengan gaji PNS IIA pun sudah diakomodasi Ditjen Pemdes. Jadi, untuk apa revisi PP 43/2015 itu ‘dikawal’, apalagi kalau sampai ada dugaan pungli. Kita percayakan saja kepada pemerintah,” ungkap Ketua Umum PPDRI Totok Haryanto SH saat dikonfirmasi, Kamis (21/12/2017).
Soal & Kunci Jawaban Buku Latihan Matematika Kelas 5 SD Halaman 41 Kurikulum Merdeka : Latihan Bab 3
15 Latihan Soal Bahasa Indonesia Kelas 4 SD BAB 4 Semester 1 Kurikulum Merdeka, Meliuk dan Menerjang
“Kalau ada dugaan pungli, jelas bukan dari kami,” timpal Sekretaris Jenderal PPDRI Mugiyono Munajad yang dikonfirmasi terpisah.
Totok dan Mugiyono mengaku haqqul yaqin pemerintah dan terutama Presiden Joko Widodo akan mengabulkan permintaan agar penghasilan perangkat desa setara dengan PNS IIA.
Bahkan, katanya, Jokowi dan Jusuf Kalla pada masa kampanye atau beberapa hari menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 di Bandung, Jabar, di hadapan ribuan perangkat desa, berjanji akan menjadikan perangkat desa sebagai PNS.
“Kalau cuma menyetarakan penghasilan perangkat desa dengan PNS IIA, kita yakin itu lebih mudah,” jelas Mugiyono.
Mugiyono mengakui, saat ini ada dua organisasi perangkat desa, yakni PPDI dan PPDRI. PPDRI telah mendapat Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Direktorat Jenderal Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Kemendagri No 01-00-00/0006/D.III.4/I/2013 tertanggal 16 Januari 2013.
Sedangkan PPDI, aku Mugiyono setelah mengecek ke Kesbangpol Kemendagri pada Senin (16/10/2017), tidak tercatat sebagai organisasi yang mendapatkan SKT dari Kesbangpol. “Jadi satu-satunya organisasi perangkat desa yang legal ya PPDRI,” klaim Mugiyono.
Sejauh ini, lanjut Mugiyono, PPDRI tak pernah menginstruksikan pungutan dana apa pun, termasuk dana untuk “mengawal” revisi PP 47/2015.
Dia meminta Mendagri Tjahjo Kumolo untuk menertibkan organisasi perangkat desa selain PPDRI. “Kalau dibubarkan jelas tidak, ‘kan tidak terdaftar?” tandas Mugiyono yang juga Kepala Urusan Pemerintahan Desa Jagung Kecamatan Kesesi Kabupaten Pekalongan, Jateng.
Dihubungi terpisah, Kamis (21/12/2017), Ketua Umum PPDI Mujito membantah pihaknya melakukan pungli. Namun ia mengakui, berdasarkan keputusan Rapat Pimpinan Nasional (Rapimnas) PPDI di Prambanan, Klaten, Sabtu (16/12/2017), PPDI menyepakati setiap anggota iuran Rp 5 ribu per bulan yang dirapel menjadi Rp 60 ribu per tahun.
“Iuran itu untuk pembuatan KTA (Kartu Tanda Anggota, red) dan membiayai kegiatan organisasi, bukan untuk ‘mengawal’ revisi PP 47/2015, apalagi pungli. Namun, iuran ini pun belum berjalan, baru rencana,” katanya.
“Waktu demo di Istana kita juga menarik iuran Rp 1 juta per kabupaten, bukan per desa, dan terkumpul Rp 24 juta. Itu pun untuk membiayai kegiatan tersebut. Kalau tidak ada iuran, lalu untuk membiayai kegiatan organisasi darimana?” jelas Mujito yang mengklaim PPDI juga punya SKT dari Kesbangpol Kemendagri No 01-00-00/0039 A/D.III.4/VI/2013 tertanggal 18 Juni 2013.
“Kita masih pakai KTA lama, KTA yang baru sedang kami urus,” tandas perangkat desa Desa Tanjung Kecamatan Kalijawir Kabupaten Tulungagung, Jatim, ini.