TRIBUNNEWS.COM -- BELASAN anak duduk melingkar. Seorang pria dewasa berdiri di depan mereka. Melayani mereka berbincang. Di sebuah gazebo di halaman rumah warga di Desa Siwalan Panji, Kecamatan Buduran, Sidoarjo.
Suasana sore itu terlihat bersahaja. Sekilas mirip anak-anak yang sedang mengaji. Hampir semua anak mengenakan baju muslim. Hanya saja, baju yang mereka kenakan tidak seragam, seperti umumnya anak-anak Taman Pendidikan Al-Quran (TPA).
Satu yang khas. Anak-anak yang sedang gayeng bercengkrama itu, tidak ada satupun yang menggunakan bahasa Indonesia atau Bahasa Jawa. Semuanya berdialog dengan bahasa Inggris.
Baca: Geger! Ular Putih Raksasa 23 Meter Ditemukan Bersama Ular di Sebuah Gua di Manggarai
Baca: Duh Lelaki Ini Nekat Larikan Gadis di Bawah Umur, Sudah 2 Bulan Tinggal Bersama di Rumah Kontrakan
“Di kawasan ini, semuanya memang wajib berbahasa Inggris,” jelas seorang anak kepada Surya. co.id.
Ya rumah dan gazebo di Jl KH Khamdani I 25 tersebut itu memang menjadi pusat kawasan studi bahasa Inggris.
“Kalau di rumah-rumah yang lainnya, itu berbeda. Ada yang pusat matematika, ada IPA, komputer, pusat bimbingan belajar, dan lain-lain,” katanya sambil menunjuk lokasi - lokasi rumah yang dimaksudnya.
Di luar rumah pusat kawasan bahasa Inggris itu, ada enam rumah lagi. Semuanya dalam pengelolaan Kampoeng SinAOE,
Alfalah Islamic Course. Sebuah kegiatan belajar di Desa Siwalan Panji yang sudah berlangsung sejak 2006 atau 12 tahun silam.
Muhammad Zamroni menjadi tokoh penggerak kampoeng sinau (kampung belajar) bagi anak-anak itu. Di rumah Jl Kahmdani I 25 yang kini digunakan kawasan belajar bahasa Inggris itulah, Zamroni lahir 19 Agustus 1979 silam.
Surya.co.id mengungunjungi kawasan anak rajin belajar itu beberapa hari lalu. Sang pencetus kampung, Muhammad Zamroni pun bersedia berbagi cerita gerakan inspiratifnya.
Gerakan yang banyak orang menyebutnya sebagai takdir hidup Zamroni. Tapi pria yang biasa dipanggil Azam ini, lebih suka menyebut semua gerakannya bermula dari kebetulan.
Semua bermula setelah Azam pulang kampung usai menyelesaikan kuliah di UIN Maliki Malang. Ini sekaligus awal balik kampung setelah 15 tahun hidup di pesantren.
Terakhir ia, putra pertama pasangan Muhammad Sofyan - Umi Ariha (61) ini nyantri di Pesantren Gading sambil kuliah di UIN.
Saat itu tahun 2006. Seorang tetangga meminta tolong Azam untuk mengajari anaknya mengerjakan PR. Murid pertamanya itu bernama Yofi Diantara. Seorang siswa sebuah SMK.
Beberapa hari mengajari Yofi, beberapa tetangga ikut bergabung. Jadilah seperti les kelompok. Azam mengajari mereka setiap malam.
“Semuanya gratis. Tapi lama lama, mungkin kasihan, ada yang memberi bisyaroh (semacam angpo atau hadiah untuk kegembiraan),” kisah Azam.
Kelompok belajar kecil terus berkembang. Sampai-sampai ruang tamu rumah tidak muat, meski semua meja kursi sudah dipindah ke dapur. Teras rumah pun ikut dijadikan tempat belajar.
Tiga tahun kemudian. Tepatnya tahun 2009, rumah benar-benar sudah tidak muat. Ia lalu memanfaatkan rumah kakeknya, yang berada di sebelah rumahnya untuk kegiatan belajar-mengajar.
Yang membuat Azam senang. Di tengah kesulitannya itu, ia menemukan orang special yang bisa membantunya. Ida Nurmala, perempuan asal Kletek, Kecamatan Taman, Sidoarjo yang tahun itu dinikahinya.
“Sejak ada istri, administrasi menjadi lebih tertata. Kami berkomitmen semakin besar jumlah siswa di tempat ini harus semakin besar manfaatnya. Karenanya, kami sepakat menerapkan subsidi silang. Siswa yang tidak mampu dan siswa yatim piatu semua gratis,” tuturnya.
Banyaknya siswa bergabung membuat Azam kembali harus memutar otak. Lagi-lagi keterbatasan ruangan menjadi masalah utama.
Dengan keterbatasan dana, ia putuskan membangun gazebo sederhana. Gazebo bambu di halaman rumahnya. Tiga gazebo itu membutuhkan Rp 12 juta. Tapi Azam waktu itu cuma punya Rp 8 juta.
“Seperti keajaiban, begitu gazebo mulai dibangun murid yang datang sangat banyak sekali. Setelah selesai pembangunan kami total semua habisnya sampai Rp 125 juta karena berkembang dengan pembangunan taman, kolam ikan dan sebagainya. Saya sangat bersyukur, kami tidak mengambil bantuan dari manapun demi menjaga independesi lembaga ini,” paparnya.
Kini berkat partisipasi para orang tua dan warga sekitar, Kampoeng SinAoe bisa menempati sejumlah rumah warga. Total tujuh rumah warga berubah menjadi pusat belajar di kampung ini.
Terhitung, ada 17 kelas dengan jumlah murid sekitar 600 anak. Mereka dibagi tiga sift, sore pukul 17.00 – 18.30 WIB (dipotong Salat Magrib), kemudian sift kedua jam 18.30 – 20.00 WIB dan sift tiga 20.30 – 22.00 WIB.
Muhammad Zamroni
Panggilan : Azam
Lahir : Siwalan Panji, 19 Agustus 1979.
Ayah : Muhammad Sofyan (63)
Ibu : Umi Ariha (61)
Pendidikan : UIN Malik Ibrahim Malang
Unisma Malang
Pesantren Gading.
Istri : Ida Nurmala,
Kampoeng SinAoe
Lokasi : Jl KH Khamdani I/25
Desa Siwalan Panji, Kecamatan Buduran, Sidoarjo
Tahun Mulai : 2006 (12 tahun)
Kegiatan : Belajar bersama non-formal
Materi : Bahasa Inggris, Matematika, IPA, Komputer, pusat bimbingan belajar, dll
Jumlah peserta : 600 anak lebih (Terbagi 17 kelas)
Jumah peserta bertambah besar di musim liburan
Kekhasan : Bahasa Inggris dipandu native speaker (pemateri atau guru asing) Para pemateri dari relawan Eropa, Amerika, Australia dan negera-negara asia
Gratis bagi anak yatim dan keluarga duafa. (M Taufik)
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Muhammad Zamroni; Pendiri Kampoeng SinAoe: Sang Pengobar Tradisi Siswa Belajar