News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Kisah Tuna Daksa yang Jadi Tukang Parkir, Agus Jadikan Tangan untuk Kaki

Editor: Sugiyarto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Agus Slamet saat bekerja senagaivtukang parkir.

Laporan Wartawan Tribun Jateng, Rifqi Gozali

TRIBUNNEWS.COM, KUDUS - Meski tidak memiliki kedua kaki, Agus Slamet tetap semangat bekerja sebagai tukang parkir di Rumah Makan Garang Asem Sari Rasa Jalan Agil Kusumadya Nomor 20 Jati Kulon, Kecamatan Jati, Kudus.

Pria berusia 32 tahun itu setiap hari habiskan waktunya tidak kurang dari empat jam untuk bekerja sebagai tukang parkir.

Dia mulai bekerja pada pukul 13.00 WIB sampai pukul 17.00 WIB.

Tidak punya kaki, bukan alasan baginya untuk berpangku tangan.

Kebutuhan hidup yang kian mendesak membuatnya harus tetap bekerja demi sesuap nasi.

Ditambah kebutuhan sekolah kedua anaknya yang kini duduk di bangku SMA dan SD.

"Tidak ada pilihan lain selain jadi tukang parkir. Saya sadar orang cacat di mana-mana akan kesulitan untuk mencari pekerjaan seperti orang normal pada umumnya," kata Agus saat ditemui Jumat (23/3/2018).

Lelaki yang kini tinggal di Desa Mlati Lor, Kecamatan Kota itu mengaku, menjalani pekerjaannya sejak dia masih duduk di bangku kelas 3 SD.

Saat itu dia berpikir, terlahir dari keluarga yang kurang mampu dia tidak ingin membebani kedua orang tuanya.

Ditambah kondisi tubuhnya yang tidak normal, dia tidak ingin beban orang tuanya kian bertambah.

"Saya sejak kecil sudah berusaha untuk mandiri. Agar orang tua tidak begitu terbebani dengan kondisi saya yang tidak punya kaki ini," katanya.

Untuk menopang mobilitasnya dalam bekerja, Agus memanfaatkan kedua tangannya sebagai tumpuan untuk berjalan.

Panasnya aspal seperti sudah bersahabat dengan kedua telapak tangannya. Satu per satu secara bergantian tangannya digunakan untuk melangkah.

Demikian cara Agus untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain.

Belas kasihan tak pernah dia pikirkan.

Yang ada di benaknya bagaimana dia bisa bekerja dengan cara yang halal untuk anak dan istrinya di rumah.

Sebagai penyandang difabel sejak lahir, tentu rasa kecewa tetap ada.

Namun hal itu selalu dipatahkan oleh sang ibu.

Saat masih kanak-kanak, tidak jarang dia murung karena kondisinya, ibunya yang senantiasa memberi senangat dan menghiburnya agar bisa menerima keadaannya.

"Ibu saya bekerja sebagai penjual jajanan ringan keliling dan buruh cuci, saya sering diajak, digendong. Demikian cara ibu saya menghibur waktu saya masih kecil," katanya.

Kekecawaanya berlanjut ketika dia hendak duduk di bangku sekolah.

Dia tidak diterima di sekolah umum, hanya boleh sekolah luar biasa.

Namun dia tetap memiliki kebanggaan, meski cacat setidaknya dia tetap sekolah meski hanya sampai bangku SMP dan itu pun tidak sampai lulus.

"Setelah di sini saya sekolah SMP di Solo. Di sana saya juga tidak sampai lulus, akhirnya saya balik lagi di Kudus. Di sini ada orang yang mau menyekolahkan saya, saya mau, dan saya pun tidak sampai lulus," katanya.

Bagaiaman pun, Agus merasa iri dengan orang normal lainnya.

Keinginan yang didambakan yaitu dia hanya ingin memberi tumpangan kepada sang istri saat naik sepeda motor.

Hanya saja dia tidak punya sepeda motor khusus.

Sejauh ini sang istri yang mengemudikan motor, dia yang membonceng.

"Kalau berangkat kerja, dulu istri saya yang mengantar. Tapi sekarang sudah tidak karena istri juga punya kesibukan memayet kain di rumah. Jadi saya naik angkot kalau berangkat kerja," katanya.

Berapa pun pendapatan yang diterima Agus menjadi tukang parkir, tidak pernah ia keluhkan.

Sekadar cukup untuk makan anak dan istrinya dia sudah mengucap syukur.

Penghasilan yang didapat tidak tentu, karena tergantung ramai atau tidaknya yang memarkirkan kendaraan.

Meski begitu, dia sangat berharap kepada pemerintah untuk sedikit memperhatikan orang-orang yang senasib dengannya.

Entah dengan cara memberikan keterampilan atau peluang pekerjaan.

Sebab, katanya, penyandang cacat kesulitan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya lantaran sangat sedikit peluang kerja yang bisa menerima penyandag difabel.

"Kalau saya sih sudah tua, sudah tidak ada keinginan neko-neko. Yang penting kerja. Kasihan penyandang cacat fisik yang masih anak-anak, jangan sampai mereka putus asa dengan kondisinya. Maka, saya meminta agar mereka diperhatikan sama pemerintah," katanya. (*)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini