TRIBUNNEWS.COM, LHOKSUKON – Ratusan lebih warga Aceh yang merantau di Malaysia hingga kemarin, diperkirakan masih dikurung pemerintah Malaysia.
Mereka dikurung di sejumlah shelter atau tempat penampungan khusus bagi pendatang ilegal atau tidak memiliki paspor serta perantau yang masa berlaku paspornya sudah berakhir.
Disebutkan, kehidupan mereka di shelter lebih parah daripada penjara karena tidak ada kejelasan kapan pendatang ini akan dipulangkan ke daerah asalnya masing-masing.
Informasi ini diperoleh Serambi dari anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI asal Aceh, H Sudirman alias Haji Uma.
Haji Uma sebelumnya berhasil membawa pulang seorang TKI asal Aceh yang pernah dikurung di salah satu tempat penampungan kawasan Negeri Sembilan, Malaysia, Sabtu (28/4/2018).
TKI itu adalah Muhammad Afzal (18 tahun), warga Peusangan, Kabupaten Bireuen.
Baca: Kisah Remaja Aceh Ditangkap Imigrasi Malaysia, Sulit Ditemukan karena 8 Bulan Pindah-pindah Penjara
Afzal pada Kamis (26/4/2018) malam lalu, tiba di kediamannya setelah sempat menjalani penahanan oleh petugas imigrasi Malaysia dalam penjara dan shelter, usai dia ditangkap pada 21 September 2017 silam.
Berkat bantuan sejumlah pihak yang difasilitasi Haji Uma, kini pria muda tersebut sudah bisa berkumpul kembali bersama keluarganya di Bireuen.
"Informasi yang disampaikan Muhammad Afzal, ternyata masih banyak sekali warga Aceh yang mengalami nasib serupa di tempat penampungan khusus itu dengan kondisi sangat menyedihkan. Sebab, mereka tidak diperkenankan untuk keluar dari dalam bilik bangunan yang berdinding beton, dan berlantai semen, bahkan ada juga yang cuma berlantai papan," kata Haji Uma kepada Serambi, kemarin.
Dalam ruangan tersebut, jelas Afzal sebagaimana disampaikan Haji Uma, hanya disediakan satu sumur untuk ratusan TKI dari berbagai negara, termasuk warga Aceh.
Baca: Nyawa Bule Spanyol Tak Tertolong Usai Selamatkan Istri dan Dua Anaknya yang Terseret Arus
"Jadi, mereka hanya bisa mandi pada waktu tertentu saja ketika tidak ada yang menggunakan air. Untuk makan, hanya pada siang dan sore saja yang diberikan nasi dalam porsi kecil. Lalu pada pagi hanya diberikan dua roti saja," bebernya.
Selain itu, para perantau ini juga tidur beralaskan lantai semen atau kayu, dengan satu pasang pakaian.