TRIBUNNEWS.COM, BANJARNEGARA - Melintasi jalan provinsi di ruas Dusun Jemblung, Desa Sampang, Kecamatan Karangkobar, Banjarnegara membuat bulu kuduk tegang.
Sebuah bukit hijau terlihat gundul, didukung suasananya yang sepi dari lalu lalang penduduk.
Pemandangan di kawasan itu selalu membawa ingatan warga pada satu tragedi terbesar dalam sejarah masyarakat Banjarnegara.
Pada Jumat menjelang magrib, tepatnya pada 12 Desember 2014 lalu, bukit Telagalele runtuh dan mengubur sebuah dusun di bawahnya, yaitu Dusun Jemblung Desa Sampang, Karangkobar.
Ratusan warga tewas tertimbun, bahkan sebagian tak pernah ditemukan akibat musibah yang tak terduga itu.
Empat tahun berlalu, warga yang selamat dari bencana itu kini telah pindah, tinggal di desa lain untuk memulai kehidupan baru.
Meski demikian, jejak mengerikan bencana itu masih kentara hingga kini.
Baca: Jokowi pun Bingung saat Abdul Majid Menyebut Nama Ikan Merah dan Ikan Sulung
Dusun yang dulu dipenuhi rumah-rumah penduduk kini berubah jadi kebun belantara.
Lereng yang dulu datar untuk pemukiman penduduk kini jadi bergunduk-gunduk karena tertimbun material longsor.
Dengan kondisi topografi yang berubah, warga tak lagi bisa mengenali batas tanah milik mereka.
"Warga yang selamat sudah pindah ke hunian tetap. Tanah milik mereka yang sudah tertimbun longsor sudah tidak dikenali," kata Irma, warga Desa Sampang, Karangkobar, kepada Tribun Jateng, akhir pekan lalu.
Memanfaatkan kembali tanah bekas bencana untuk pemukiman tak mungkin dilakukan. Setiap jengkal tanah adalah alarm kenangan yang hanya akan mengulang kesedihan.
Baca: Menko Luhut: Pencarian Korban KM Sinar Bangun Sudah Maksimal, Tak Mungkin Dilakukan Pengangkatan
Di dalam tanah itu, barangkali masih ada jasad keluarga yang belum sempat ditemukan.
Juga harta benda yang sudah tak diharapkan pulang.
Material tanah itu juga mungkin telah bercampur darah dan air mata.
Nyatanya, hingga saat ini meski retakan bumi telah kembali rapat, tak satu pun warga yang berani mendirikan rumah atau bangunan di kawasan itu.
Ditinggalkan Masyarakat
Bertahun-tahun dusun yang telah ditinggalkan penghuninya itu tak ubahnya kampung mati.
Kampung yang dahulu selalu diwarnai hiruk-pikuk penduduk kini sepi tak terjamah.
Yang tertinggal di kampung itu hanyalah kesunyian yang horor.
Tetapi, sifat tanah tetaplah tak berubah, meski tanah yang terlepas dari puncak bukit itu telah berpindah ke bawah lereng.
Gundukan longsor serupa bukit kecil yang menutup kampung itu tetap subur dan menjanjikan kesejahteraan.
Seiring berjalannya waktu, kuburan sebuah kampung itu telah ditumbuhi pepohonan maupun tanaman liar.
Baca: Ratna Sarumpaet Dimarahi Keluarga Korban KM Sinar Bangun saat Cekcok Mulut dengan Luhut Panjaitan
Ada saja warga yang berani memanfaatkan lahan bekas bencana itu untuk menyambung hidup, meski untuk mengolah tanah yang menyimpan tragedi itu mereka lebih hati-hati.
Petani menanami lahan itu dengan tanaman kayu-kayuan yang lebih kuat mengikat tanah.
"Yang menanam itu juga warga, tapi tidak jelas batas-batasnya, karena tanah milik yang asli kan sudah tertimbun," jelas Irma.
Meski demikian, warga hanya memanfaatkan lahan yang berada di bawah bukit, atau jauh dari pusat bencana.
Kawasan dekat mahkota longsor dibiarkan apa adanya dan tetap tak terjamah.
Alhasil, tebing yang sebagian materialnya terlepas itu terlihat gundul, tak berubah dari kondisi semula pascalongsor.
Prasasti alam itu seakan ingin selalu bercerita tentang dusun yang hilang dalam sekejap. (Khoirul Muzakki)