TRIBUNNEWS.COM, PANGKAJENE - Sahlan (55), warga Kampung Wani, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah (Sulteng) masih mengingat peristiwa gempa dan tsunami yang merenggut rumah dan seluruh isinya, Jumat (28/9/2018) lalu.
Saat itu dia sedang asyik menonton TV, sementara istrinya sibuk di dapur dan anak-anaknya berada di dalam kamar.
Tiba-tiba tepat pukul 17.35 Wita terjadi gempa pertama.
Mereka kemudian sadar dan berusaha saling berteriak hingga gempa susulan terjadi yang kedua kalinya.
Gempa semakin terasa hebat, Sahlan kemudian bersandar di dinding mengikuti gerak irama gempa, hingga dia dan keluarganya berhamburan ke luar rumah ketika terjadi gempa yang ketiga kalinya.
Baca: Perekam Video Asusila Mahasiswa UIN Bandung Ternyata Mahasiswa di Kampus yang Sama
Di luar rumah, dia menyaksikan rumahnya langsung roboh terbelah dan jatuh ke tanah kemudian disusul tsunami bertepatan adzan magrib berkumandang.
"Saya dan keluarga lari saja sejauh mungkin sampai kami ke gunung yang bernama Gunung Lanta. Kami jalan sejauh 10 km dan terus berjalan di tengah hantaman gempa dan tsunami," ujar Sahlan saat ditemui di Majennang.
Selama di gunung, Sahlan dan keluarganya hanya makan pisang dan air seadanya. Itupun berkat bantuan para petani yang berkebun di gunung.
"Kita enam hari di gunung pisang saja pengganti makanan pokok dan tidak pernah ada bantuan, hingga sampai kami turun di posko induk baru diberi makan mie instan," ungkapnya, Selasa (9/10/2018).
Baca: KPAI: Pencegahan Kasus Gay di Garut Harus Melibatkan Guru dan Orang Tua
Sahlan lalu mencari tahu keluarganya di semua wilayah, termasuk di Kabupaten Pangkep.
Dia akhirnya dijemput kerabat dan menggunakan kapal Tonasa Lines menuju Kabupaten Pangkep.
"Untuk sementara saya tinggal di sini dulu sampai Palu benar-benar sudah normal. Saya ingin menghilangkan trauma dan mengembalikan semangat hidup saya dan keluarga," jelasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribun-timur.com dengan judul Cerita Pengungsi Korban Gempa dan Tsunami Donggala, Lari ke Gunung dan Cuma Makan Pisang