TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH - Lima nelayan asal Aceh Tamiang harus mendekam di Penjara Langkawi, Malaysia, sejak 14 Juli hingga 1 November 2018 karena melanggar batas perairan ‘Negeri Jiran’ tersebut.
"Kelima orang itu adalah, Syamsul Bahri (42 tahun), Syahrul Rizal (38 tahun, Ajis Saputra (20 tahun), Sunaryo (40 tahun), dan M Sakbani (24 tahun)," ungkap Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Aceh, Ir Cut Yusminar pada acara ‘Temu Teknis Pengawasan Sumber Daya Kelautan’ di Hotel Grand Arabiya, Kota Banda Aceh, Kamis (1/11/2018).
Ir Cut Yusminar menerangkan, informasi penangkapan kelima nelayan Aceh Tamiang itu diterimanya dari Satgas KJRI Penang pada 14 Juli 2018, dan sempat dibahas dalam acara Our Ocean Conference (Konferensi Samudera Kita), 29-30 Oktober 2018, di Nusa Dua, Bali.
Oleh sebab itu, dalam acara Our Ocean Conference tersebut, Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pujiastuti dalam pengarahannya, meminta kepada para nelayan sebelum pergi berlayar, terlebih dahulu melengkapi dokumen melaut, seperti surat izin melaut dari syahbandar, peta perbatasan, GPS, bahan bakar, serta kebutuhan pokok, dan lainnya.
"Kenapa nelayan harus memiliki peta batas laut antara negara dan GPS serta perizinan melaut, karena pada saat mereka ingin mencari tempat berhenti sementara untuk menghindari badai, bisa menggunakan peta batas negara dan GPS, sehingga tidak memasuki wilayah perairan laut negara lain, seperti Malaysia," ujar Ir Cut Yusminar.
Kedua, menurut Ir Cut Yusminar, jika nelayan memiliki perizinan melaut dari syahbandar, maka pada saat memasuki perairan negara lain dan diperiksa petugas patroli laut negara tersebut, para nelayan bisa menunjukkan surat perizinan melaut.
Sehingga jika pun sampai diproses ke pengadilan negara setempat, diberikan keringanan hukuman.
"Alasannya, karena masuk ke wilayah perairan laut negara itu untuk keselamatan berlayar akibat badai, bukan untuk menangkap ikan di wilayah perairan laut mereka," kata Ir Cut Yusminar.
Baca: Dua Perempuan Diduga Pasangan LGBT Diamankan Satpol PP
Terkait proses pemulangan kelima nelayan itu pasca penyelesaian hukumannya nanti, Ir Cut Yusminar mengaku sudah berkunjung ke KJRI di Penang, sebelum mengikuti acara di Nusa Dua, Bali.
Menurut penjelasan dari pihak KJRI, proses pengadilan terhadap kelima nelayan itu sedang berjalan di Pengadilan Maritim, Langkawi, Malaysia.
"Pada setiap proses persidangan, pihak KJRI di Penang dan Langkawi turut mendampingi mereka, terutama untuk memberikan keterangan yang bisa meringankan hukuman bagi kelima nelayan tersebut," ungkap Ir Cut Yusminar.
"Jika mereka bisa segera dipulangkan, maka mereka akan menyusul 6 nelayan Aceh lainnya yang sudah duluan dipulangkan dari Malaysia, setelah menjalani hukuman pelanggaran batas wilayah laut dan pelanggaran lainnya," ujar Ir Cut Yusminar.
Baca: Dicecar Pertanyaan Soal Dewi Perssik oleh Hotman Paris, Meldi: Tahu Gini Saya Ajak Pengacara
Ir Cut Yusminar memaparkan, petugas patroli laut Malaysia dalam pertemuan dengan tim pemulangan nelayan dari Aceh, belum lama ini di Langkawi, mengungkapkan, mereka sebenarnya tidak begitu suka menangkap nelayan dari Aceh.
Tapi karena masuk ke batas wilayah perairan antarnegara merupakan pelanggaran hukum, maka mau tak mau setiap ada nelayan dari manapun termasuk Aceh yang masuk tanpa izin ke negeri itu, tetap mereka tangkap dan diproses ke pengadilan.
"Biasanya, setelah nelayan itu menjalani hukuman tahanan beberapa bulan, mereka langsung dibebaskan dan kita diminta untuk menjemput sekaligus memulangkannya," ujar Ir Cut Yusminar. (her)
Artikel ini telah tayang di Serambinews.com dengan judul Lima Nelayan Aceh Ditahan Malaysia