TRIBUNNEWS.COM - Tsunami Banten, Selat Sunda pada Sabtu (22/12) diduga karena longsornya material sedimen di sekitar Anak Gunung Krakatau di bawah laut.
BMKG juga mendeteksi anak Krakatau erupsi pada pukul 21.03 WIB dan mengakibatkan peralatan seismograf rusak.
Nyatanya, erupsi Anak Gunung Krakatau sudah terjadi saban hari sejak 29 Juni 2018.
Dikutip dari Geo Magz, Majalah Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Gunung Anak Krakatau lahir pada 15 Januari 1929.
Ia lahir setelah 'orang tuanya' meletus pada tahun 1883 yang menewaskan 36 ribu jiwa.
"Pada 20 Januari 1929, asap meniang keluar dari tumpukan material gunung api yang baru muncul di permukaan, yang mulai tumbuh dari kedalaman laut 180 m. Itulah gunung yang baru lahir yang diberi nama Gunung Anak Krakatau. Anak gunung api ini tumbuh 4 m per tahun dan mempesona banyak orang," demikian adalah pernyataan yang ditulis dalam majalah milik Kementerian ESDM itu.
Sejak muncul ke permukaan laut, kini pertumbuhan Anak Krakatau terbilang cepat.
Selama 80 tahun, pada 2010 saja tingginya sudah mencapau 320 meter dpl.
Estimasi pertumbuhannya mencapai 4 meter pertahun.
Hal ini mengkhawatirkan para ahli jikalau Anak Gunung Krakatau bakal mengikuti jejak mendiang orang tuanya, meletus hebat pada 27 Agustus 1883.