TRIBUNNEWS.COM - Sosok itu masih tampak muda. Mengenakan udeng atau sorban ala Turki sebagai penutup kepalanya, bajunya surjan polos hijau lumut yang tampak sudah pudar warnanya.
Pakaian bawahnya sarung merah marun yang digulung simple di bagian pinggangya. Warna sarung itu juga tampak sudah pudar dan lusuh. Tangan kanannya terangkat di sisi tubuhnya, jari telunjuk menunjuk ke atas.
Tangan kirinya menggenggam kuat warangka keris yang diselipkan di perutnya. Tubuh pemuda itu terlihat kurus, tulang dada tampak bertonjolan. Wajahnya? Nah, wajah sang pemuda ini sepertinya tak asing lagi.
Ada wajah “Jokowi” di lukisan figur Abdurohim alias Diponegoro saat berusia 20 tahun ini. Pelukisnya Sigit Santoso, seniman lulusan ISI Yogyakarta yang tinggal di Sleman. Ia dikenal dengan karya-karyanya yang tidak biasa.
Setiap goresan di kanvas atau medium lukis lain, selalu memiliki makna-makna simbolik, filsafat seni, ungkapan kritik, simbol perlawanan, dan lain sebagainya. Tidak selalu mudah memahami karya-karya Sigit Santoso.
Lukisan Diponegoro muda ini dipajang di nomer urut ketiga dari 50 babak adegan Babad Diponegoro pada Pameran Sastra Rupa Gambar Babad Diponegoro. Event bersejarah ini digelar di Jogja Gallery, Pekapalan Alun-alun Utara, 1-24 Februari 2019.
Penggambaran masa pemuda Diponegoro itu diambil dari pupuh Babad Diponegoro, yang menceritakan pada usia 20an tahun. Diponegoro yang menyamar pakai nama Abdurohim, berkelana ke hutan dan gua-gua.
Ia juga mengunjungi pondok-pondok pesantren, menyesap ilmu dan spiritualitas, dalam pengembaraannya sebagai pangeran muda, putra raja Kasultanan Mataram. Ia hidup prihatin, jauh dari kemewahan keluarga bangsawan.
Ia ingin tampil sebagai rakyat jelata, pemuda kebanyakan, menyerupai siapa saja yang hidup dalam kesederhanaan. Wajah kebanyakan itulah yang dipilih untuk menggambarkan Abdurohim alias Diponegoro saat muda.
Sigit memberi judul karyanya itu "Abdulrohim Jokowibowo Namaku". “Wajah dan tubuh figur itu mewakili kita kebanyakan,” kata Sigit Santoso di rumahnya beberapa waktu lalu.
Saat itu ia sama sekali belum mulai menggoreskan kuas dan cat. “Kanvasnya itu juga baru datang,” imbuhnya sembari terkekeh.
Sigit agaknya termasuk seniman paling akhir yang menyetorkan karyanya ke panitia pameran. “Saya kirimkan Kamis siang,” kabarnya pada Tribunjogja.com, Rabu (30/1/2019) malam.
Meski sudah disiapkan sejak Agustus 2018, Sigit mengaku sangat lama bergumul dengan proses karyanya. Meski sudah disediakan teks berdasar babad yang ditulis Diponegoro, tidak mudah memvisualisasikan dalam gambar.
Masalah besarnya, tidak pernah ada data sketsa, drawing, apalagi foto yang bisa menunjukkan wajah Diponegoro saat usia 20 tahun. Ini membuat intrepretasi, tafsir wajah muda Diponegoro menjadi sangat relatif.
“Pernah terlintas di ide, saya ingin menggambarkannya serupa sosok-sosok santri zaman now, zaman milenial yang rambutnya gondrong. Kontemporer pokoknya,” jelas teman sekolah penyair Wiji Thukul yang raib pada masa gejolak reformasi 97/98.
Namun gagasan itu berubah. Sigit memilih untuk menyesuaikan penggambaran dengan situasi politik terkini, meski ia tidak bermaksud menempatkan karyanya sebagai produk politik. “Tafsir terserah ke penonton,” katanya.
Setelah bergelut lama dengan ide-idenya, dan banyak berdiskusi dengan kurator pameran, Dr Mikke Susanto, akhirnya tercapai kesesuaian. “Saya kemudian membuat desain menggunakan komputer,” lanjutnya.
Hal lain di luar penggambaran wajah yang memerlukan diskusi panjang, Sigit juga menghadapi tantangan tentang penggambaran keris yang identik dengan Diponegoro. “Apakah santri dulu selalu bawa keris?” gugatnya.
“Bagaimana letak penempatan keris jika memang dibawa? Di depan atau belakang?” lanjut Sigit yang kemudian memilih tetap untuk memvisualisasikan sang figur itu menggenggam warangka keris yang terselip di perutnya.
Teks babad dari kurator dan penyelenggara pameran yang diberikan ke Sigit Santoso, baginya sebagai seniman, terasa menyulitkan dan membatasi. Tapi ia harus berkompromi.
Sebagaimana beberapa pelukis lain, Sigit tetap memasukkan ciri khasnya dalam karyanya. Latar belakang lukisan yang menggambarkan suasana malam, dengan kemunculan bulan sabit dan kelelawar yang beterbangan, bisa bertafsir banyak.
“Intrepretasi terserah penonton. Saya tidak punya kekuatan pemaksa agar masyarakat memahami karya saya. Apapun karya kalau sudah dipamerkan, itu jadi milik orang lain juga. Bebas,” tandasnya.
Namun ia tetap memberi catatan, secara hakikat, proses karya dan gagasan yang ia visualisasikan, hanya sang seniman yang tahu persis. Ia menganalogikan situasinya dengan saat orang bertamu ke rumahnya.
“Tamu bisa tahu pintu masuk pagar, pintu masuk teras, masuk ruang tamu. Tapi kalau kamar, ya hanya saya yang tahu persis,” jelasnya.
Ia pun menunjuk visualisasi tangan kanan Abdurohim yang jari telunjuknya mengarah ke atas.
“Tanda itu tafsir,” tukasnya. Tanda dan simbol itu bisa berarti banyak juga. Baginya posisi telunjuk yang mengarah ke atas itu umum sifatnya. Banyak figur sangat penting yang dicitrakan menggunakan tanda itu sebagai kode reliji.
Tapi jika dirunut sejarahnya, simbol-simbol itu sesungguhnya banyak yang dipengaruhi ketika paganism atau kebudayaan pagan mendominasi peradaban manusia di bumi ini. “Sebagian yang kita kenal sekarang itu simbol-simbol kuno,” kata Sigit.
Bagi pria kelahiran Ngawi ini, karya terkait Babad Diponegoro ini, sangat menarik. Ia menikmati proses karyanya sejak awal hingga lukisan itu dituntaskan Kamis (31/1/2019).
Kurator pameran, Dr Mikke Susanto kepada Tribunogja.com menjelaskan, satu-satunya data yang merekam sosok Diponegoro adalah sketsa AJ Bik (1830). Saat itu Diponegoro ditawan dan berada di Balai Kota Batavia.
Ada catatan, sebagaimana juga dituangkan dalam buku “Takdir” karya Peter Carey, Diponegoro saat itu dalam kondisi sakit parah karena malaria. Tubuhnya kurus, ringkih, wajahnya tirus, dan usianya sudah tua.
Sehingga sulit menjadi tolok ukur bagaimana wajah asli sang pangeran pengobar perang Jawa itu. Ini membuat intrepretasi dan visualisasi wajah Diponegoro menjadi bebas.(Tribunjogja.com/xna)