"Terkait pesan WA 7 Juni 2018 itu, pemberian uang baru dilakukan pada 9 Juni 2018," ujar jaksa KPK, Yadyn. Namun, lagi-lagi, Mailoolmembantah.
Baca: Tak Dibayar Usai Lakukan Hubungan Menyimpang Jadi Alasan Remaja Ini Cangkul Leher Juragan Keripik
Ketua Majelis Hakim yang memimpin jalannya persidangan, Judijanto Hadi Lesmana menegur Mailool yang selalu berkelit. Kepada hakim, Mailool mengakui bahwa semua pesan WA itu dikirim dari ponselnya, oleh dirinya. Judijanto juga menunjukan berkas BAP keterangan Mailool. Pria berkaca mata itu juga mengakui semua keterangannya di BAP adalah benar dan tanpa paksaan.
"Kalau begitu jangan selalu berkelit, katakan yang sebenarnya jangan berbohong. Peran anda sudah dikupas semua sama jaksa, anda aktif sekali," ujar Judijanto.
Usai sidang itu, Tribun mengkonfirmasi apakah peran Mailool di balik pemberian uang itu atas perintah Billy Sindoro lewat ponsel atau secara lisan, jaksa KPK I Wayan Riyana mengatakan itu sempat ia tanyakan ke Joseph.
"Kami kan tanyakan ke Mailool, apakah Billy Sindoro ini menggunakan ponsel atau tidak. Jawaban saksi jarang pakai ponsel," kata I Wayan.
Lantas, saat ditanya ulang apakah pesan-pesan Billy ke Joseph untuk Henry dan Fitradjaja disampaikan secara lisan, mengingat bahwa Joseph selalu ada di dekat Billy
"Nanti kita ungkap di persidangan," ujar Yadyn.
Pada sidang itu, selain saksi Joseph Christopher Mailool, saksi yang dihadirkan yakni Ketut Budi Wijaya dari Lippo Group. Ia mengungkap peran Billy yang mendadak jadi pegawai Lippo Group dengan perjanjian kerta waktu tertentu (PKWT).
Padahal saat itu, Billy baru saja pensiun sebagai petinggi Siloam Hospital Groups. PKWT itu disebut jaksa KPK sebagai dasar bagi Billy untuk menangani perizinan Meikarta. Hanya saja, Ketut membantah bahwa PKWT itu sebagai dasar agar Billy mengurusi perizinan. Surat PKWT ditampilkan oleh jaksa di persidangan.
"Setahu saya bukan untuk urusan perizinan," kata Ketut. Di PKWT, tertulis gaji Billy Sindoro sebesar Rp 180 juta lebih.
Proyek Meikarta sendiri disebut-sebut sebagai kota mandiri dengan menghadirkan 53 tower apartemen dengan nilai proyek Rp 200 triliun lebih. Di persidangan, terungkap pula bahwa pembiayaan Meikarta melibatkan konsorsium di China dan Malaysia, lewat Peak Asia Investment. Keterangan itu diketahui dari Richard Hendro Setiadi selaku direksi perusahaan pengembang Meikarta.
CEO PT Star Pacific, Samuel Thahir juga dihadirkan sebagai saksi, bersama stafnya, Hanes Citra. Jaksa KPK membuka percakapan antara Hanes dengan Fitradjaja, salah satunya permintaan uang senilai total Rp 60 juta lebih. Uang tersebut disebut jaksa sebagai uang operasional bagi Fitradjaja Purnama, Henry Jasmen dan Taryudi untuk operasional mengurus izin Meikarta.
Hanya saja, itu juga dibantah oleh Hanes. Menurut jaksa, pesan-pesan telpon berisi uang itu sudah dihapus oleh Hanes namun berhasil di recovery kembali. Terkait hal itu, Samuel Thahir membenarkan ada permintaan uang dari Henry Jasmen dan Fitradjaja.
Namun, kata Samuel, permintaan itu ditolak karena permintaan itu salah alamat. Jaksa juga menunjukan pesan WA dari Henry Jasmen yang meminta ditransfer.