TRIBUNNEWS.COM, SEMARANG - Kapolda Jawa Tengah digugat anggotanya berinisial Brigadir TT ke PTUN Semarang atas keputusan pemberhentian tidak hormat (PTDH).
Menanggapi gugatan tersebut, Polda Jateng pun menyiapkan tim hukum melayani gugatan yang dilayangkan Brigadir TT (30) di PTUN Semarang.
Brigadir TT merupakan anggota Subditwisata Ditpamobvit Polda Jateng yang diberhentikan dengan tidak terhormat.
Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Agus Triatmaja menyebutkan pihaknya telah menyiapkan langkah hukum menghadapi gugatan tersebut.
"Silakan mengajukan gugatan ke PTUN, itu hak yang bersangkutan dengan melalui mekanisme yang berlaku."
"Polda Jateng siap dan akan menyiapkan tim untuk hadapi gugatan tersebut," sebut Agus, Jumat (17/5/2019).
Menurutnya, pemberhentian Brigadir TT telah melalui prosedur yang berlaku.
Ia menyebut Brigadir TT dijerat pasal pasal 7 dan pasal 11 Peraturan Kapolri tentang kode etik profesi Polri.
"Yang bersangkutan diberhentikan secara tidak hormat karena perilakunya dinyatakan sebagai perbuatan tercela," katanya.
Namun, ia tak menjelaskan secara detail perbuatan tercela yang dilakukan Brigadir TT.
Pasal yang dituduhkan menyebutkan setiap anggota Polri harus menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri, menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal, dan norma hukum.
"Semua ada di pemeriksaan, secara detail dan mendalam apa saja penyidik yang mengetahui hasil pemeriksaannya," katanya.
Dipecat Karena Menyukai Sesama Jenis
Brigadir TT, Anggota Subditwisata Ditpamobvit Polda Jawa Tengah dijatuhi sanksi berupa Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PDTH) sebagai anggota Polri dikarenakan menyukai sesama jenis atau homoseksual.
Terkait pemecatan itu, Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Dedi Prasetyo menerangkan ada sejumlah hal yang harus dipatuhi setiap anggota Polri.
Pernyataannya merujuk pada Undang-Undang Kepolisian Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002.
Dimana menurutnya pada tataran norma agama, perilaku LGBT masih menjadi hal tabu bagi masyarakat Indonesia.
Karenanya, ia mengatakan anggota Polri tidak boleh memiliki orientasi seksual menyimpang.
"Tercantum pada pasal 19 ayat 1. Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia," ujar Brigjen Pol Dedi Prasetyo, di Jakarta, Jumat (17/5/2019).
"Sehingga, dari hal tersebut tersirat bahwasanya anggota Polri tidak boleh LGBT dan memiliki kelainan atau disorientasi seksual," imbuhnya.
Mantan Wakapolda Kalimantan Tengah itu juga menyinggung bahwa setiap anggota Polri memiliki kewajiban menaati Kode Etik Profesi Kepolisian Perkap 14 tahun 2011 pada Pasal 7 ayat 1 poin b.
Dedi menyebut personel Korps Bhayangkara diwajibkan untuk menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi dan kehormatan Polri.
Selain itu, kata dia, di Pasal 11 disebutkan anggota Polri wajib menaati, menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal dan norma hukum.
"Sehingga apabila hal tersebut sesuai ketetuan pada psal 20 dan 21 perihal dan sanksi hukuman dan tindakan, bagi anggota Polri yang melanggar dapat diberikan sanksi dan hukuman berupa rekomendasi PTDH," jelasnya.
Namun demikian, perihal pemecatan kepada Brigadir TT, Dedi meminta awak media mengkonfirmasi lebih lanjut ke Polda Jawa Tengah.
"Silahkan dikonfirmasi ke Polda setempat, karena itu urusan Polda setempat," katanya.
Gugat Polri
Atas sanksi pemecatan tersebut, brigadi TT (30) tidak bisa menerima. Ia melayangkan gugatan karena yakin pemecatannya itu berhubungan dengan orientasi seksualnya tidak berdasar.
Brigadir TT mengajukan gugatan kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Semarang, sidang yang telah mencapai tahap replik pada Kamis (16/05/2019).
Masalah yang merundung TT bermula pada hari Valentine, 14 Februari 2016.
Sehabis bertemu pasangannya, TT ditangkap oleh petugas Polres Kudus terkait dugaan tindak pemerasan.
"Penjelasan mereka karena ada info dari masyarakat. Sampai sekarang saya enggak tahu info masyarakat dari siapa itu. Dan enggak diomongkan ke saya," ungkapnya kepada BBC News Indonesia seperti dilansir Tribunnews.com.
TT kemudian "dibawa paksa" ke kantor Polres Kudus setelah sempat menolak karena para petugas itu tidak menunjukkan surat tugas.
Sesampainya di kantor polisi, ia diperiksa oleh bagian pengamanan internal (paminal).
Malam itu juga, lanjut TT, dua ponsel pribadinya disita oleh Kabid Paminal, dengan alasan "untuk proses lebih lanjut".
Setelah itulah arah pemeriksaannya berubah jadi tentang orientasi seksualnya.
Dan, dua tahun kemudian, pada Desember 2018 ia dipecat atas tuduhan melanggar kode etik Polri.
Menurut Kabid Humas Polda Jateng Agus Triatmaja, TT diberhentikan tidak hormat karena perilakunya "dinyatakan sebagai perbuatan tercela".
Agus tidak menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan tercela itu terkait dengan orientasi seksual namun ia menolak untuk menjelaskan lebih lanjut.
"Secara mendalam, penyidik yang mengetahui hasil pemeriksaannya," katanya kepada BBC News Indonesia lewat pesan singkat.
"Eggak ada yang tahu kondisi saya"
Keterangan dari Humas Polda Jateng menyebut TT dijerat dengan pasal pasal 7 dan pasal 11 Peraturan Kapolri tentang kode etik profesi Polri.
Peraturan tersebut menyatakan bahwa setiap anggota Polri harus "menjaga dan meningkatkan citra, soliditas, kredibilitas, reputasi, dan kehormatan Polri." dan "menaati dan menghormati norma kesusilaan, norma agama, nilai-nilai kearifan lokal, dan norma hukum."
TT mempertanyakan klaim bahwa ia telah merusak citra Polri.
Padahal, selama ini ia merahasiakan orientasi seksualnya, bahkan dari keluarganya sendiri.
"Kok tiba-tiba mereka mengomong-omongkan saya menurunkan citra Polri, padahal selama ini enggak ada yang tahu kondisi saya seperti ini."
Selama ini, TT menutupi kenyataan bahwa ia seorang gay karena merasa dirinya bagian dari kelompok minoritas yang belum diakui di Indonesia.
"Saya enggak mau membuat gaduh," ujarnya.
TT mengaku merasa kecewa karena dipecat setelah menjadi anggota polisi selama 10 tahun.
"Selama ini saya mengabdi di Polri selama sepuluh tahun, menjaga nama baik Polri juga, tapi kok akhirnya mereka mengeluarkan saya dengan alasan seperti ini."
Ia menduga kepolisian mengetahui kondisinya setelah ia ditangkap termasuk telepon selulernya yang diperiksa.
Tidak dibenarkan untuk diskriminasi
Setelah mendapat surat keputusan pemecatan, TT menggugat Polda Jateng ke PTUN Semarang, dengan didampingi Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM).
Pengacara dari LBHM yang mendampingi TT, Ma'ruf Bajammal, mengatakan pihaknya mengajukan gugatan pada tanggal 26 Maret.
Mereka juga membuat pengaduan kepada Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) pada 10 April tentang dugaan pelanggaran HAM kepada orang dengan minoritas seksual.
Ma'ruf menilai dalil yang digunakan Polda Jateng untuk memecat TT tidak kuat.
Penggunaan pasal 7 Peraturan Kapolri, menurut Ma'ruf, sangat dipaksakan.
"Bagaimana ini dikatakan melanggar citra dan soliditas, ini kan masuk ke ranah privat," ujarnya kepada BBC News Indonesia.
Sedangkan ihwal tuduhan melanggar norma, Ma'ruf mengatakan TT bukanlah penyimpangan.
Dari perspektif hak asasi manusia, ia adalah seseorang dengan orientasi seksual minoritas.
"Artinya, ia dijamin oleh berbagai peraturan perundang-undangan di Indonesia, tidak dibenarkan untuk didiskriminasi," tegasnya.
Bagaimanapun, TT mengatakan ia masih ingin menjadi polisi.
"Saya memiliki kebanggaan menjalankan tugas sebagai seorang polisi, cuma saya kecewa ketika saya menjadi diri saya sendiri. Kenapa saya diberhentikan."(*)