Niladewi menjelaskan, perempuan yang menjadi pelaku penganiayaan bisa berangkat dari dirinya yang sebelumnya menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Baik bentuk kekerasan secara fisik maupun psikis yang akhirnya memilih meluapkan emosinya dengan cara menyakiti orang-orang terdekat di sekitarnya.
"Seorang perempuan yang melakukan kesalahan fatal pasti ada sebabnya. Kalau kita melihat sampai terjadi seperti itu kembali ke pelakunya sendiri. Kalau saya lihat dari kronologisnya sih sebenarnya pelaku sendiri sebelumnya juga menjadi korban KDRT, berupa penelantaran yang dilakukan oleh suaminya. Ia hidup sendiri, menghidupi dirinya sendiri dan anaknya, status janda juga tidak, bukan janda juga tidak. Jadi otomatis dia mudah emosi dengan orang-orang terdekat di sekitarnya," paparnya.
Pendampingan Psikiater
Kata Niladewi, baik korban dan pelaku tetap memerlukan pendampingan seorang psikiater untuk menghilangkan rasa trauma dan mengetahui keadaan kejiwaan.
Ia mengimbau kepada para perempuan yang bekerja dengan seseorang jika mendapat perlakuan penganiayaan, termasuk tidak diberikan gaji dalam jangka waktu minimal dua atau tiga bulan untuk segera melapor.
"Pelaku dan korban tetap memerlukan psikiater. Agar tidak menyisakan trauma bagi korban dan mengetahui keadaan kejiawaannya pelaku. Paling tidak meringankan hukuman. Bukan membela kesalahannya. Tidak digaji itu termasuk juga dalam bentuk kekerasan. Harus segera lapor. Paling tidak ke teman, tetangga, atau ketua RT setempat. Karena mereka itu bisa membantu melaporkan. Tidak harus mereka sendiri yang melapor," kata dia. (bus/ana)
Artikel ini telah tayang di tribun-bali.com dengan judul 2 Pembantu Diduga Korban Penyiksaan Majikan di Gianyar Trauma, Eka Ungkap Wanita Penolongnya Ini