"Memang ada tabungan, tapi kami kan ingin beli rumah, membiayai anak-anak. Kalau ditutup tidak semudah dan segampang itu dengan diberi uang," paparnya.
WPS asal Wonogiri, Eni (30) meminta, Pemkot tidak menutup secara spontan namun harus perlahan dengan melakukan pengurangan anak asuh sedikit demi sedikit.
Isu penutupan memang sudah lama namun baru kali ini Pemkot memberikan gebrakan yang cukup mengagetkan dia dan para WPS yang ada di Sunan Kuning.
"Kalau langsung semuanya tutup tidak bisa, kasihan lah. Kalau hanya diberi pesangon Rp 5 juta buat apa? Saya siap berhenti kalau Pemkot memberi kios untuk usaha saya," tandasnya.
Diakui Eni, sebenarnya ingin meninggalkan pekerjaan tersebut, namun himpitan ekonomi yang membuatnya terjun ke dunia prostitusi.
Untuk mencari pekerjaan lain pun dia merasa kesulitan lantaran hanya berpendidikan sekolah dasar saja.
"Saya dulu di Gbl (Gambilangu) empat bulan terus ketahuan keluarga akhirnya pulang kerja disana.
Tapi, anak saya semakin besar dan butuh biaya banyak, penghasilan saya tidak cukup, akhirnya saya kesini," paparnya.
Bekerja sebagai seorang WPS, dalam semalam dia biasanya melayani lima hingga enam tamu. Jika sedang ramai, dia bisa melayani hingga delapan hingga lima belas tamu.
Adapun dalam sebulan, Eni bisa mengantongi sekitar Rp 7 juta. Uang yang dihasilkan tersebut untuk menghidupi dua anaknya yang masih berada di bangku sekolah.
Penutupan Lokalisasi Sunan Kuning ternyata tidak hanya disayangkan oleh para WPS.
Pemilik wisma juga merasa keberatan dengan hal tersebut.
Pemilik Wisma Maharani, Rohmat mengaku, sangat berat jika lokalisasi ini ditutup.
Dia berharap, Pemkot juga memikirkan nasib para pemilik wisma.