Hamdani, saat dijumpai Serambi, Jumat (9/8/2019) di Kantor Dinas Sosial Aceh menceritakan, mereka bertiga berangkat dari Pereulak pada, Rabu (31/7/2019) lalu.
Mereka mulai berlayar sore hari, namun hanya sekitar enam jam berselang, sekitar jam 21.30 WIB, boat mereka tiba-tiba mati mesin.
Baca: Pengakuan Waria Kena Razia: Kalau Malam Saya Jadi Wanita, Siangnya Perkasa, Kadang Dapat Rp 300 Ribu
Karena saat itu angin sedang berhembus kencang, alhasil boat berukuran 7 x 1,8 meter itu dibawa arah angin.
Usaha memperbaiki mesin terus dilakukan, namun tak kunjung berhasil.
Akhirnya mereka menaikkan layar/terpal sekadar tempat berlindung saat panas, sekaligus tanda kepada nelayan lain jika boat mereka dalam kondisi rusak.
Selama lima hari di lautan, melewati hujan lebat hingga diabaikan kapal kontainer. Mereka sudah sangat pasrah.
Namun keinginan berkumpul dengan keluarga, membuat mereka terus menggeruk air yang masuk, agar boat tak karam.
Apalagi bagi Afifuddin, ia tentu tak bisa putus asa dengan keadaan, karena istrinya sedang mengandung anak pertamanya di kampung.
Baca: 10 Nama Calon Menteri Diajukan PDIP, Jokowi Pastikan Ada Jatah Menteri dari Bali
Setelah lima hari tak melihat daratan dan menemukan boat sesama nelayan di lautan, akhirnya pada suatu di pagi di hari kelima itu, tepatnya Senin (5/8/2019) mereka sedikit bisa tersenyum.
Karena ada satu boat nelayan ukuran besar yang mendekat.
Namun apa yang mereka lihat ternyata tak sesuai harapan.
Saat boat yang tidak diketahui asalnya ini mendekat, mereka hanya lewat saja tak mengubris Hamdani dan kawan-kawan yang butuh pertolongan.
Saat itu, jarak antara kedua boat hanya sekitar 20 meter, saat Hamdani dan kawan-kawan ingin melempar tali untuk merapat boat, ABK dari kapal asing tersebut memberi kode yang artinya mereka tidak bisa memberikan pertolongan.
"Mungkin mereka takut menyelamatkan, setelah melihat kami bukan bangsa mereka, karena bisa saja nanti kena mereka," ujarnya.