TRIBUNNEWS.COM - Majelis Hakim Pengadilan Negeri Mojokerto telah menjatukan vonis hukuman tambahan berupa kebiri kimiawi kepada Terdakwa kasus pemerkosaan 9 anak, Muh Aris (20).
Vonis tersebut menjadikan vonis pertama terdakwa kekerasan seksual terhadap anak dikebiri.
Namun, vonis tersebut urung dilakukan lantaran ada persoalan di tataran pelaksanaan.
Berikut fakta terkait vonis tambahan kebiri kepada terpidana kasus kekerasan seksual di Mojokerto:
Pertama kali di Mojokerto
Kasi Intel Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Mojokerto, Nugroho Wisnu mengatakan, dari sekian kasus kejahatan seksual, khususnya pemerkosaan yang diajukan ke pengadilan, baru kali ini keluar vonis hukuman kebiri kimia.
Diketahui, Muh Aris (20), pemuda asal Dusun Mengelo, Desa Sooko, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, Jawa Timur.
Baca: 2 Fakta Penampilan Trengginas Robert Lewandowski pada Pekan Kedua Bundesliga
Baca: Video Mewahnya Venue Resepsi Roger Danuarta & Cut Meyriska, Bertabur Cahaya Kunang-kunang
Baca: Film Perempuan Tanah Jahanam, Karya Joko Anwar yang Buat Tara Basro Gugup
Baca: Kemensos dan BRI Pastikan 1130 KPM PKH di Kabupaten Sampang Mendapatkan Haknya
Pengadilan memutuskan Aris bersalah melanggar Pasal 76 D junto Pasal 81 Ayat (2) Undang-undang RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pemuda tukang las itu dihukum penjara selama 12 tahun dan denda Rp 100 juta subsider 6 bulan kurungan.
Selain itu, Aris dikenakan hukuman tambahan beruapa kebiri kimia.
"Untuk wilayah Mojokerto, ini yang pertama kali," kata Nugroho Wisnu saat dihubungi Kompas.com, Minggu (25/8/2019) malam.
Aris dihukum penjara dan kebiri kimia setelah terbukti melakukan 9 kali pemerkosaan di wilayah Kota dan Kabupaten Mojokerto.
Ada pun para korbannya merupakan anak-anak.
"Dalam persidangan, terungkap 9 korban," kata Wisnu.
Sebelumnya diberitakan, seorang pemuda di Mojokerto dihukum kebiri kimia setelah terbukti memperkosa 9 anak.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Pemerkosa 9 Anak Dapat Hukuman Kebiri Kimia dan Baru Pertama di Mojokerto
Tunggu arahan dari Kejaksaan Agung dan Cari Rumah Sakit
Kejati Jatim menyebut hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus kekerasan seksual anak di Mojokerto belum memiliki petunjuk teknis (Juknis).
Karena itu saat ini Kejari Mojokerto masih menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung untuk mengeksekusi hukuman tersebut.
"Hukuman kebiri kimia baru pertama kali di Indonesia, dan belum ada juknisnya. Karena itu kami masih menunggu petunjuk dari Kejaksaan Agung," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejati Jatim, Richard Marpaung, dikonfirmasi Minggu (25/8/2019) malam.
Menurut Richard, Kejaksaan Negeri Mojokerto selaku eksekutor hukuman kebiri kimia terhadap terpidana kasus kekerasan seksual anak, Muh Aris (20), meminta petunjuk tentang teknis eksekusi hukuman tersebut kepada Kejati Jatim.
"Sementara Kejati Jatim masih mengonsultasikan teknis eksekusi kepada Kejaksaan Agung," tambahnya.
Selain itu, pihaknya masih harus mencari rumah sakit yang bisa menjalankan eksekusi kebiri kimia.
"Kalau untuk pidana kurungannya sudah bisa dilakukan eksekusi. Namun, untuk kebiri kimia, kami masih mencari rumah sakit yang bisa," kata Wisnu, saat dihubungi Kompas.com, Jumat (23/8/2019). (Kontributor Surabaya, Achmad Faizal)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Hukuman Kebiri Kimia Belum Ada Juknis, Kejati Jatim Tunggu Petunjuk Jaksa Agung
IDI menolak jadi eksekutor
Melansir dari Kompas.com, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pernah menolak jadi eksekutor hukuman kebiri yang rencananya akan menjadi hukuman tambahan bagi pelaku kejahatan seksual pada anak.
Pelaksanaan hukuman kebiri oleh dokter dianggap melanggar Sumpah Dokter dan Kode Etik Kedokteran Indonesia.
"Kita tidak menentang perppu mengenai tambahan hukuman kebiri. Namun, eksekusi penyuntikan janganlah seorang dokter," ujar Ketua Umum IDI Ilham Oetama Marsis dalam jumpa pers di Jakarta, Kamis (9/6/2016).
Marsis menegaskan, IDI mendukung kebijakan pemerintah untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kekerasan seksual pada anak.
Namun, mereka menolak dilibatkan dalam pelaksanaan hukuman kebiri atau menjadi eksekutor.
Ketua Majelis Kehormatan Etika Kedokteran (MKEK), dr Priyo Sidipratomo, mengatakan, dokter tidak akan menggunakan pengetahuannya untuk hal yang bertentangan dengan perikemanusiaan, sekalipun diajak.
Hal itu disebutkan dalam sumpah dokter.
"Kalau melanggar, dikeluarkan dari organisasi profesi organisasi. Dokter bertugas hanya untuk kepentingan kemanusiaan. Dalam peperangan pun, dokter harus menyelamatkan manusia, sekalipun itu musuh," kata Priyo.
Namun, sikap IDI ini menjadi dilema karena hanya dokter yang memiliki kompetensi untuk memasukkan zat kimia ke tubuh manusia.
Menurut dokter spesialis andrologi, Wimpie Pangkahila, sebaiknya hukuman diperberat dengan menambah masa kurungan penjara atau hukuman tambahan lainnya yang tidak mencederai profesi dokter.
Wimpie mengatakan, hukuman kebiri pun belum terbukti di dunia bisa memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan seksual. (Dian Maharani)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul: Ikatan Dokter Tolak Jadi Eksekutor Hukuman Kebiri
Tanggapan psikolog
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri menanggapi keputusan pengadilan di Jawa Timur yang memberi hukuman kebiri kimia kepada pemerkosa 9 anak
"Akhirnya, ada juga pengadilan negeri yang memuat kebiri kimiawi dalam putusannya bagi terdakwa predator seksual. Majelis Hakim di PN Mojokerto," ujarnya, Sabtu (24/8/2019).
Tapi, menurut Reza, bisa dipastikan, putusan semacam itu tdk bisa dieksekusi. Ia mengungkap beberapa alasannya.
"Pertama, Ikatan Dokter Indonesia menolak menjadi pelaksana karena di Indonesia filosofi kebiri adalah retributif. Padahal, di luar, filosofinya adalah rehabilitasi. Dokter, kata IDI, bertugas menyembuhkan, bukan balas dendam," katanya.
Baca: Khawatir Rafatar Kebanyakan Dengar Musik Luar, Raffi Ahmad Ajak Penyanyi Cilik Gelar Mini Konser
Baca: Maverick Vinales Targetkan Mulai Balapan dari Garis Depan di MotoGP Inggris 2019
Baca: Mendagri Sering Pindah Mobil Patwal Karena Mobil Dinasnya Sering Mogok
Alasan kedua, sambung Reza, di sini, kebiri dijatuhkan dengan menihilkan kehendak pelaku. Alhasil, bisa-bisa pelaku menjadi semakin buas.
"Kemudian di luar, kebiri adalah berdasarkan permintaan pelaku. Pantaslah kalau di sana kebiri kimiawi mujarab. Di sini blm ada ketentuan teknis kastrasi kimiawi. Akibatnya, UU 17/2016 melongo bak macan kertas."