TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Sekitar 9 tahun lalu, tiga orang siswa di SMK N 1 Sanden, Bantul, Yogyakarta, berangkat Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Pelabuhan Benoa, Bali.
Dari puluhan siswa yang berangkat, ada 3 orang siswa yang sampai sekarang tidak diketahui nasibnya, karena kapal yang ditumpanginya hilang.
Ada pun ketiga anak itu yakni Agiel Ramadhan Putra, Ignatius Leyola Andrinta Denny Murdani, dan Ginanjar Nugraha Atmaji.
Berbagai upaya dilakukan orangtua mereka untuk mencari keberadaan anak-anak mereka, sampai akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaan yang dihadapi.
Orangtua Agiel, Riswanto Hadiyasa, menceritakan, berbagai upaya terus dilakukannya untuk mendapatkan kejelasan nasib anak pertamanya itu.
Dia menceritakan, waktu itu Agiel masih kelas 2 SMK dan akan berangkat PKL. Oleh pihak sekolah, Riswanto dan puluhan orangtua siswa lainnya diundang ke sekolah untuk mendapatkan sosialisasi.
Dalam sosialisasi itu, Kepala SMK N 1 Sanden, Ahmad Fuadi menyampaikan bahwa PKL yang resmi sebenarnya dilaksanakan di Pekalongan, Jateng, selama 3 bulan.
Namun akhirnya, PKL dilaksanakan di Tanjung Benoa, Bali, selama 3 bulan, dengan alasan di sana merupakan pelabuhan internasional.
Baca: NANTIKAN! Live Streaming Timnas Indonesia vs Malaysia Kamis 5 September 2019 18.30 WIB, Ada Jokowi!
Baca: Live Score Hasil Timnas Indonesia vs Malaysia di Kualifikasi Piala Dunia 2022, Pantau di HP
Baca: Warga Demo PT. KCN, DPRD DKI Jakarta : Masalah Polusi Harus Jadi Perhatian Khusus
Selain itu, anak-anak akan mendapatkan uang Rp 4 sampai Rp 8 juta. Dalam sosialisasi juga diperkenalkan seseorang yang bernama Mugiri yang menurut dia sebagai guru pembimbing.
Namun setelah persidangan diketahui bahwa Mugiri adalah calo tenaga kerja.
Setelah rencana PKL itu disetujui, sekolah meminta uang Rp 2.250.000 untuk keperluan biaya keberangkatan para siswa ke Bali.
Medio 31 Desember 2009 lalu, ketika anaknya dan para siswa di SMKN 1 Sanden akan berangkat untuk PKL di Bali, mereka harus mengurus KTP.
Padahal waktu itu Agiel berusia 16 tahun dan belum layak mendapatkan KTP.
Tanpa curiga, karena sudah percaya pada sekolah, akhirnya para orangtua merelakan anak mereka melaksanakan PKL di Tanjung Benoa.
Setelah beberapa bulan anaknya mengikuti PKL, Riswanto tidak menaruh curiga hingga akhirnya ia menerima surat dari PT Sentra Buana Utama tertanggal 2 Maret 2010, memberitahukan bahwa kapal KM Jimmy Wijaya tempat Agil bekerja mengalami hilang kontak per 6 Februari 2010 pukul 04.00 WIT.
Riswan menerima surat dari petugas pos perihal kabar kurang sedap itu. Dalam surat itu disebutkan Agiel bekerja mulai tanggal 27 Februari 2010.
"Saya percaya itu PKL, dapat surat ditujukan kepada saya orangtua, dalam surat itu lost contact. Di situ saya kaget, kok di sini dapat dari PT, setahu saya anak lagi PKL," katanya saat dihubungi, Selasa (3/9/2019).
Waktu itu, Riswanto menelepon perusahaan pemberi surat menanyakan soal PKL. Kenyataannya, Agiel dan teman-temannya disalurkan calo untuk bekerja di kapal.
Pihak perusahaan pun memberitahukan bahwa masih mencari kapal tersebut.
Riswanto akhirnya mendatangi sekolah tanpa terlebih dahulu memberitahukan tentang kejadian hilangnya kapal yang ditumpangi anaknya. Ketika ditanya soal PKL, kepala sekolah bilang baik-baik saja.
"Waktu itu dijawab baik-baik saja. Saya tanya kerja di mana anak saya, dan dijawab baik-baik saja. Surat (dari perusahaan) saya banting di meja, begitu baca gemeter," ucapnya.
Saat itu Riswanto menanyakan mengenai PKL yang ternyata dipekerjakan oleh perusahaan. Akhirnya ia berangkat ke Bali untuk mendapatkan kejelasan mengenai nasib anaknya.
Awal pencarian, ia sempat mengalami kesulitan sampai akhirnya bisa bertemu dengan perusahaan.
Riswanto mendapatkan bukti kontrak kerja, dan pihak perusahaan mendapatkan tenaga kerja dari calo ke calo. Perusahaan sendiri menerima mereka bekerja karena memiliki KTP yang diketahui palsu.
"Dalam kontrak kerja itu 6 bulan, ternyata anak saya sudah teken (tanda tangan). Intinya anak saya tidak mengetahui," ucap pria yang saat ini mengaku tinggal di Jakarta.
Setelah mendapatkan bukti-bukti kuat soal penipuan, Riswanto pun melaporkan ke pihak kepolisian. Namun hingga hampir 1 tahun, kasus tersebut tidak jelas ujungnya.
Riswanto pun mendatangi Kementerian Hukum dan HAM, hingga menghubungi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dibuatkan lah surat tembusan ke Polda Bali dan Polda DIY.
Sampai akhirnya masuk ke ranah persidangan, dan kepala sekolah beserta guru divonis bebas. Riswanto terus berupaya mencari keadilan.
Ia berusaha meminta bantuan Presiden Joko Widodo, namun tidak ada respons. Akhirnya Riswanto pun mencoba mengontak Menteri Kelautan dan Perikanan yang nomornya didapat dari seseorang. Tetapi hingga kini tidak ada respons.
"Saya berharap Denny mengetuk pintu rumah"
Lucia Martini awalnya kaget saat mengetahui sejumlah jurnalis mendatangi rumahnya di Kedon, RT 04, Sumbermulyo, Bambanglipuro, Bantul.
Saat itu ingatannya kembali ke 10 tahun silam saat mengantarkan Ignatius Andrianta Loyola Denny Murdani berangkat PKL ke Bali. Saat itu, anak ketiganya sempat menolak diantar kakaknya. Ia lebih memilih diantarkan ibunya.
"Saya diantar Mom (ibu) saja. Nanti enam bulan saya tidak melihat Kedon (nama dusunnya)," kata Martini menirukan upacan anaknya, Rabu (4/9/2019).
Lucia tak menyangka akan berpisah dengan anaknya sampai sekarang. Padahal anaknya bercita-cita menjadi prajurit TNI AL. Lucia mengaku terlambat mendapatkan informasi hilangnya KM Jimmy Wijaya dibandung para orangtua korban lainnya. Ia baru mendapatkan informasi soal hilangnya kontak kapal seminggu kemudian.
"Saya mendapatkan informasi terlambat, kedua orangtua mereka sudah mendapatkan informasi seminggu sebelumnya. Langsung dari Bali. Sementara saya baru tahu 5 Maret (2010) ketika didatangi pihak sekolah. Padahal Pak Joko (ayah Ginanjar) tahu kapal hilang kontak setelah disurati langsung oleh pihak perusahaan," ucapnya.
Dia menduga karena anaknya belum memiliki KTP, maka dibuatkan oleh calo yang bernama Mugiri. Denny berangkat ke Pulau Dewata dengan KTP sementara, karena usianya waktu itu masih 16 tahun.
Di kemudian hari, dia baru mengetahui ternyata di Bali, anaknya tidak PKL, namun dipekerjakan sebagai anak buah kapal (ABK).
"Saya baru tahu ternyata KTP anak saya dipalsukan supaya bisa bekerja di kapal. Pelakunya Mugiri. Dia sudah divonis penjara oleh Pengadilan Negeri Bantul," ucapnya.
Sepuluh tahun berlalu tanpa ada kejelasan nasib Denny, Lucia pun pasrah. Namun Lucia punya firasat bahwa Denny masih hidup dan akan pulang.
"Sebagai seorang ibu, saya percaya dia masih hidup tapi entah di mana. Saya berharap Denny mengetuk pintu rumah," katanya.
"Feeling saya belum (meninggal) belum pernah bertemu lewat mimpi. Hatiku juga masih tenang dan tidak deg-degan. Kapan waktu Denny akan pulang. Saya masih mengharapkan pulang, ada mukjizat Tuhan. Setiap sembahyang saya selalu mendoakan," ujarnya.
Ingatan tentang anaknya masih sering muncul dibenaknya ketika melihat gedung sekolah.
"Saya ke sekolah sampai bosen, saya dulu sering ke sekolahan. Saya gak nuntut Denny pulang hidup, seandainya sudah meninggal pun saya terima. Tetapi ada kejelasan bagaimana nasibnya," ucapnya.
Hingga kini Lucia tidak mengetahui sampai di mana pencariannya ataupun perkembangan kasusnya. Sebab, ia sudah tidak pernah berkomunikasi dengan kedua orangtua yang lain.
Termasuk dengan Riswanto yang mengaku mewakili Martini dan Joko untuk kembali menuntut keadilan. Sementara Martini mengatakan bahwa dia terakhir bertemu Riswanto pada 2011 lalu dan setelah itu tidak pernah berkomunikasi lagi.
"Saya ketemunya 2011 habis di pengadilan dengan Pak Riswanto. Nggak pernah kordinasi (Riswanto). Tidak ada komunikasi. Karena Hp juga saya rusak, terus hilang kontak. Pak Riswanto juga pergi toh. Kalau sama Pak Joko masih sering mampir. Kalau dengan pak Tiswanto ketemu terakhir di pengadilan," katanya. (Kontributor Yogyakarta, Markus Yuwono)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Dikira Magang, 3 Siswa SMK Dijual Calo ke Perusahaan Kapal hingga Hilang 9 Tahun",