TRIBUNNEWS.COM - Beredar video viral di media sosial Facebook dan Whastapp memperlihatkan momen tanah bergerak yang mirip dengan fenomena Likuifaksi terjadi di Kalimantan Utara (Kaltara).
Video viral likuifikasi atau pencairan tanah itu terjadi di kawasan PT Pipit Mutiara Jaya, Tana Tidung, Kaltara.
Baca: Menkominfo Pastikan Tidak Akan Blokir Jaringan Internet di Papua saat Ultah OPM
Baca: Hanya Gara-gara Senggolan, Pemuda Banjarmasin Hujani Tusukan Pengendara Lainnya
Setelah dikonfirmasi, Kepala BPBD Kaltara, M. Pandi membenarkan kejadian tersebut.
Menurutnya pihaknya masih melakukan investigasi untuk menelusuri penyebab kejadian tersebut.
Peristiwa yang terjadi pada Selasa (29/10/2019) pukul 08.15 WITA tersebut tidak menimbulkan korban jiwa
Namun, sebanyak 6 unit alat berat tertimbun.
Perlu diketahui peristiwa Likuifaksi sempat menghebohkan publik bebarengan dengan peristiwa gempa dan tsunami di Palu dan Donggala pada Jumat (28/9/2018) lalu.
Baca: Klarifikasi Raffi Ahmad dan Nagita Slavina Terkait Beredarnya Video Syur yang Mirip Nagita
Baca: Sopir Taksi Online Jadi Korban Pembunuhan di Bogor, Ceceran Darahnya Sempat Dikira Genangan Air
Likuifaksi yang terjadi di Palu Selatan tepatnya berada di Perumahan Petobo.
Peristiwa pencairan tanah itu menelan sejumlah pohon, rumah, dan bangunan lain dalam hitungan menit.
Dilansir dari Kompas.com, akibat dari likuifaksi tersebut, wilayah seluas 180,6 hektar di Petobo dan 202,1 hektar di Jono Oge, Kabupaten Sigi mengalami kehancuran luar biasa.
Di wilayah Petobo sendiri, likuifaksi mengakibatkan 2.050 bangunan mengalami kerusakan.
Sementara di Jono Oge, sebanyak 366 bangunan mengalami kerusakan.
Sempat diragukan namun Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB, Alm. Sutopo Purwo Nugroho dalam akun Twitter miliknya menggungah video hasil rekaman citra Satelit WorldView dengan resolusi pixel 0.5 meter.
Video itu memperlihatkan detik-detik proses likuifaksi yang terjadi.
Apa itu Likuifaksi ?
Penjelasan tentang fenomena ini disampaikan mantan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Rovicky Dwi Putrohari dan praktisi geologi Lesto Prabhancana.
Dalam perbincangan dengan Tribunjogja.com, Kamis (4/10/2018), Lesto langsung menyodorkan foto satelit dan peta gempa serta peta sesar di Palu.
Daerah Petobo dan Balaroa ternyata persis berada di atas garis merah sesar Palu-Koro.
Gempa dahsyat yang menyulut tsunami berpusat di Donggala, ujung dari sesar Palu-Koro yang membelah Kota Palu.
Karena berada tepat di sesar itulah, guncangan kuat gempa mengubah daratan yang di atasnya padat permukiman, seketika jadi lunak dan bergerak.
"Ketika terguncang, lapisan tanah seperti teraduk dan otomatis merusak lapisan kedap air di bawahnya. Ketika lapisan kedap air atas terkoyak, maka air tanah akan terbuka dan bercampur tanah yang teraduk oleh guncangan gempa," kata Lesto.
Baca: Bamsoet Bangga Jokowi dan Wapres Maruf Amin Menjadi Keluarga Besar Pemuda Pancasila
Baca: Kronologi Lengkap Sopir Taksi Online Tewas Dibunuh di Bogor, Korban Digorok Pakai Pisau Cutter?
Lesto menyebut lapisan padat yang teraduk dan bercampur air itu berada di atas bidang gelincir miring.
Ketika sudah lunak, otomatis akan bergerak mengikuti bidang gelincirnya.
Itulah mengapa terlihat daratan bergerak dan bergeser seperti sungai.
Fenomena ini masih terhitung jarang terjadi di Indonesia.
Sejauh yang diingat Lesto, pernah ada kejadian mirip di Sumatera Barat.
Di Majalengka juga pernah ada peristiwa yang mirip, namun lebih cenderung fenomena tanah bergerak.
Rovicky Dwi Putrohari menjelaskan, fenomena ini terjadi ketika kekuatan rekat atau daya kohesifitas sedimen yang tidak kompak di zona jenuh air menghilang.
Hilangnya daya rekat itu akibat gelombang S (S-waves) gempa bumi.
Ia menyebutkan likuifaksi akibat gempa pernah terjadi di gempa Madrid 1811-1812, gempa Tangshan China 1976, gempa San Fransisco 1989, gempa Niigata 1994, gempa Kobe 195, dan gempa Christchurch Selandia Baru 2010-2011.
Dari pemotretan satelit Digital Globe terbaru di wilayah Petobo, sekaligus dibandingkan sebelum dan sesudah gempa 28 September 2018, dampaknya memang sangat mengerikan. Separo wilayah Petobo bergerak, berubah, dan dihempas likuifaksi.
Dari posisinya, wilayah ini berada di jalur padat penduduk karena terletak di sepanjang Jalan HM Soeharto, jalan raya dari Kota Palu menuju bumi perkemahan Ngata Baru, pasar dan terminal Bulili di Palu Selatan.
Pergerakannya dari timur ke barat yang dipengaruhi kontur Petobo yang menurun ke arah barat di lembah Palu.
Menurut Rovicky, jenis litologi sedimen lembah Palu ini berupa pasir lempung.
"Jika dilihat dari foto satelit, ini tipe likuifaksi siklik di daerah bermorfologi landai," kata geolog lulusan UGM ini.
Dilihat dari kondisi terkini dan melihat peta geologinya, menurut Lesto daerah terdampak itu sudah tidak aman lagi untuk area permukiman.
Sedangkan menurut Rovicky, wilayah di Palu dan Sigi yang terkena likuifaksi di zona patahan, sebaiknya tidak lagi dijadikan zona permukiman permanen.
Ia merekomendasikan bahwa daerah tersebut jadi ruang terbuka hijau saja.
Jika didirikan bangunan, sebaiknya tidak permanen dan dengan rekayasa teknik guna mengurangi dampak kebencanaan.
Namun, menurut Rovicky, ini perlu survei langsung dan pemetaan lapangan sejak dini, mengingat peristiwanya baru saja terjadi, dan singkapan-singkapan batuannya masih mudah diamati.
(Tribunnews.com/Inza Maliana/Xna)