Dalam artikel Sains Kompas.com pada (27/4/2017), peneliti petir dari Sekolah Tinggi Elektro dan Informatika (STEI) di Institut Teknologi Bandung (ITB), Syarif Hidayat, mengatakan, petir berbeda dengan listrik di rumah meski sama-sama memiliki arus listrik.
"Petir berbeda dengan listrik di rumah karena dia tidak sabaran. Arus listrik di rumah kita mau mengantre dalam kabel. Petir tidak. Dia tidak peduli, maunya cepat-cepat sampai ke bumi," kata Syarif saat itu.
Untuk menghantarkan arus ke bumi, petir cenderung memilih tempat terbuka, obyek yang tinggi, dan tonjolan di permukaan bumi.
Obyek tinggi bisa berupa tiang ataupun pohon. Adapun tonjolan bisa berupa bukit atau gunung, manusia, hewan, dan bangunan yang berada di tempat terbuka.
Jadi, orang yang berada di tengah sawah, bermain bola di lapangan, ataupun berlayar di atas kapal di lautan bisa menjadi tonjolan yang siap disambar petir.
"Karena sifatnya yang tidak sabaran, saat ada tonjolan, petir akan menyambar semuanya tanpa pilih-pilih. Jadi memang tidak mengherankan petir bisa menyambar banyak obyek sekaligus," ungkap Syarif yang aktif mendata aktivitas petir di Indonesia.
Dari sisi kekuatan, tegangan petir pun sangat besar. Tegangan listrik yang bisa ditoleransi manusia 20 miliampere.
Sementara tegangan yang dihasilkan petir bisa mencapai 26.000 ampere.
Bagi petir, membunuh manusia adalah perkara mudah.
Mengapa sambaran petir sangat fatal, padahal terjadi dalam waktu singkat?
Sambaran petir telah menjadi penyebab kematian pada 4.000 orang di dunia setiap tahun. Angka ini sudah dikurangi 90 persen dari korban yang selamat.
Padahal, sambaran petir terjadi begitu cepat dan jumlah listrik yang mengalir pada tubuh sangat kecil.
Mary Ann Cooper, seorang dokter gawat darurat yang telah pensiun dan peneliti petir, berkata kepada CNN 25 Mei 2017 bahwa mayoritas listrik dari sambaran petir mengalir di luar tubuh dalam efek flashover.
Listrik yang mengalir di luar tubuh ini bisa bereaksi dengan keringat atau tetesan air hujan pada kulit.