Kedua adalah adanya kepercayaan kepada nilai-nilai fatalistik tentang masa lalu yang masih kuat di masyarakat.
"Karena kepercayaan kepada sistem dan nilai-nilai fatalistik tentang itu yang masih kuat di masyarakat. Makanya ada orang yang mendeklarasikan itu," paparnya.
Menurutnya, kepercayaan atau keyakinan tentang bangsa Jawa yang besar ini sudah ada dari dulu sampai sekarang.
Seperti yang diketahui, Keraton Agung Sejagat ini sempat menghebohkan masyarakat.
Pasalnya keberadaan Keraton Agung Sejagat dianggap meresahkan warga sekitar.
Hal tersebut berawal dari Keraton Agung Sejagat mengadakan acara wilujengan dan kirab budaya, yang dilaksanakan dari Jumat (10/1/2020) hingga Minggu (12/1/2020).
Keraton Agung Sejagat dipimpin oleh seseorang yang dipanggil Sinuwun yang bernama asli Totok Santosa Hadiningrat dan istrinya yang dipanggil Kanjeng Ratu yang memiliki nama Dyah Gitarja.
Selain itu, Penasihat Keraton Agung Sejagat, Resi Joyodiningrat, menegaskan, Keraton Agung Sejagat bukan aliran sesat seperti yang dikhawatirkan masyarakat.
Dia mengatakan, Keraton Agung Sejagat merupakan kerajaan atau kekaisaran dunia yang muncul karena telah berakhir perjanjian 500 tahun yang lalu, terhitung sejak hilangnya Kemaharajaan Nusantara, yaitu imperium Majapahit pada 1518 sampai dengan 2018.
Perjanjian 500 tahun tersebut dilakukan oleh Dyah Ranawijaya sebagai penguasa imperium Majapahit dengan Portugis sebagai wakil orang Barat atau bekas koloni Kekaisaran Romawi di Malaka pada 1518.
Jodiningrat menyampaikan, dengan berakhirnya perjanjian tersebut, maka berakhir pula dominasi kekuasaan Barat mengontrol dunia yang didominasi Amerika Serikat setelah Perang Dunia II.
Menurut dia, kekuasaan tertinggi harus dikembalikan ke pemiliknya, yaitu Keraton Agung Sejagat sebagai penerus Medang Majapahit yang merupakan Dinasti Sanjaya dan Syailendra.
(Tribunnews.com/Anugerah Tesa) (Kompas.com/Tribun Jateng)