TRIBUNNEWS.COM, SURABAYA – Ribuan karyawan dari 12 perusahaan penyeberangan di lintasan Ketapang-Gilimanuk resah.
Mereka terancam tidak mendapat gaji mulai bulan ini karena perusahaan tidak sanggup lagi menutupi biaya operasional.
Ketua DPD Gabungan Pengusaha Nasional Angkutan Sungai Danau dan Penyeberangan (Gapasdap) Jawa Timur Sunaryo mengungkapkan, sebagian besar operator kapal ferry di Ketapang-Gilimanuk tidak mampu lagi membayar gaji karyawan, bahkan untuk membayar bunga bank pun sudah sulit.
“Bagaimana ini, siapa yang tanggung jawab? Karyawan sudah resah. Kalau mereka tidak dapat gaji, kapal ferry di Ketapang-Gilimanuk bisa-bisa berhenti operasi, angkutan logistik bisa kacau,” katanya, Senin (23/3/2020).
Baca: 153 Kapal Laut dari Luar Negeri yang Sandar di Pelabuhan Tanjung Perak Bebas dari Virus Corona
Menurut Sunaryo, kondisi saat ini sangat memprihatinkan karena ekonomi masih lesu ditambah ada wabah virus corona.
Karyawan juga harus ekstra hati-hati dan perusahaan harus melakukan penanganan khusus karena kapal ferry di lintasan itu beroperasi 24 jam.
“Biaya di penyeberangan terus naik dan tambah banyak, tetapi tarifnya tidak naik-naik. Kalau penyeberangan berhenti beroperasi dan tidak mampu lagi bayar gaji, kami khawatir akan ada gejolak besar. Karyawan bakal turun ke jalan demo besar-besaran,” ujar Sunaryo.
Sementara itu, Ketua Bidang Tarif DPP Gapasdap Rakhmatika Ardianto mengatakan proses kenaikan tarif penyeberangan hingga saat ini belum juga ada kejelasan, walaupun Dirjen Perhubungan Darat Kemenhub sudah memimpin langsung sosialisasi di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, pada 6 Maret 2020.
“Pemerintah seperti plin-plan, proses perhitungan tarif sudah dibahas hingga 1,5 tahun, bahkan sudah disosialisasikan tetapi tidak juga direalisasikan. Padahal era sebelumnya hanya butuh waktu beberapa bulan saja,” ungkapnya.
Dia mengatakan, Gapasdap telah mengingatkan pemerintah agar segera menetapkan tarif karena semua perusahaan penyeberangan sudah kesulitan menutupi biaya yang sangat besar.
“Tidak heran kalau penyeberangan di daerah-daerah kesulitan. Mereka sudah tidak bisa menjamin kelancaran dan keselamatan pelayaran. Tentu ini sangat berbahaya dan mengganggu kelancaraan logistik di tengah wabah virus corona,” ujar Rakhmatika.
Dia heran pemerintah tidak kunjung menetapkan tarif, meskipun tahu tarif penyeberangan di Indonesia sudah ketinggalan 30%-50% dari biaya operasional.
“Pendapatan perusahaan penyeberangan diketahui oleh pemerintah, sebab penjualan tiket diatur dan dilaksanakan oleh PT ASDP sehingga semuanya transparan,” ujarnya.
Perhitungan tarif pun dilakukan secara bersama-sama antara Pemerintah (Kemenhub yang diketahui oleh Kemenko Maritim dan Investasi), Gapasdap dan PT ASDP.
Rakhmatika menegaskan, kenaikan tarif penyeberangan merupakan keharusan mengingat biaya terus meningkat setiap tahunnya, antara lain biaya perawatan dan suku cadang kapal yang sebagian besar diimpor melonjak akibat kurs rupiah melemah terhadap dólar AS dan mata uang asing lainnya.