Selama lima bulan bekerja di kapal tersebut, Andri mengaku pernah menghubungi anak istrinya di kampung halaman.
Tetapi, karena ponselnya dipegang kapten kapal, ia menjadi kesulitan menghubungi keluarganya.
Baca: Kemlu: Kasus ABK WNI di Kapal Lu Qing Yuan Yu 623 Dalam Proses Penyelidikan Tiongkok
"Menghubungi ada. Tapi mau bagaimana lagi. Hape (ponsel) dipegang tekong. Jadi harus bersabarlah," katanya.
Selain kesulitan berkomunikasi, Andri mengaku dalam satu hari dirinya hanya diberi waktu tidur atau istirahat selama tiga jam saja.
Parahnya lagi, selama berbulan-bulan bekerja di kapal tersebut, mereka tidak menerima gaji.
Karena tidak tahan atas perlakuan yang mereka terima itulah, Andri bersama rekannya Reynalfi nekat menyeburkan diri ke laut.
"Saya sudah pedih. Selalu mengalami penganiayaan. Lelet-lelet sedikit ditendang. Kalau kata-kata kotor sudah sarapan pagi. Saya juga tidak pernah mendapatkan gaji," kata Andri di Mapolsek Tebing Polres Karimun, Sabtu (6/6/2020) sore.
Kronologi terjun dari kapal
Tidak tahan dengan penderitaan yang diterimanya di atas kapal tersebut, Andri dan Reynalfi pun mencari celah untuk melarikan diri.
Beberapa hari sebelum kabur, keduanya telah menyiapkan life jaket dan dokumen pribadi, seperti paspor dan buku pelaut.
"Tiga hari sebelumnya sudah saya kemas memang," kata Andri di Polsek Tebing Polres Karimun, Sabtu (6/6/2020) sore.
Mereka merasa pada Jumat (5/6/2020) malam adalah waktu yang tepat untuk melaksanakan niat itu.
Pada malam tersebut, Andri mendapatkan tugas untuk berjaga.
Baca: Kemenlu Akui Banyak ABK WNI Bekerja di Luar Negeri Tidak Terdata
Ia melihat kapal sedang mengarah ke Singapura dan berada di dekat perairan Indonesia.