Laporan Wartawan Tribun Jogja, Miftahul Huda
TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA - Aktivitas Gunung Merapi yang berada di antara wilayah Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) kini memasuki fase intrusi baru.
Fase ini ditandai dengan ciri-ciri adanya letusan eksplosif yang diiringi kegempaan dalam.
Aktivitas ini dapat menimbulkan erupsi, jika tekanan kegempaan dalam terjadi sangat kuat.
Kepala Seksi Gunung Merapi, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kegempaan dan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta, Agus Budi Santoso menjelaskan, dampak dari aktivitas kegempaan dalam gunung merapi tersebut perlu diwaspadai.
Ia menambahkan, apabila kegempaan pada aktivitas merapi tersebut berkekuatan rendah, maka hal itu hanya akan berpengaruh pada terjadinya penyumbatan yang mengakhiri siklus 2018-2019.
Sebaliknya, apabila aktivitas kegempaan dalam itu terjadi dengan sangat kuat, maka akan timbul sebuah ekstrusi atau erupsi Merapi yang keluar seperti tahun 2006.
"Tapi kami tidak tahu kapan hal itu akan terjadi. Akan tetapi, jika melihat tanda-tandanya, saat ini sudah terlihat, dari sebuah migrasi magma," katanya saat dihubungi Tribunjogja.com, Minggu (5/7/2020).
Budi, sapaan akrabnya menjelaskan, saat ini merupakan siklus kedua setelah Agustus 2018 lalu terjadi ekstrusi magma.
Kemudian, ekstrusi tersebut berhenti dan mulai terlihat kembali pada tahun ini. Dengan pantauan kedalaman magma lebih dari 3 kilometer.
"Ini akan ada lagi, dengan tekanan yang sepertinya jauh lebih besar," imbuhnya.
Baca: Gunung Merapi Sudah 15 Kali Meletus Eksplosif Sejak Tahun 2019
Baca: Kubah Lava Gunung Merapi Kian Mengecil, Dipengaruhi oleh Letusan Eksplosif, Ini Penjelasan BPPTKG
Budi membandingkan ekstrusi yang terjadi pada 2018 silam.
Menurutnya, deformasi yang terbentuk sebagai degradasi magma pada 2018 hanya mencapai 1,5 hingga 2 centimeter dalam dua minggu.
Sementara pada 2020 kali ini, BPPTKG Yogyakarta mencatat terjadi degradasi magma sebesar 10 centimeter sejak 21 Juni kemarin.
"Tanda-tandanya jauh lebih kuat. Ekstrusi kali ini hanya bisa dibandingkan pada tahun 2006 lalu," ungkap Budi.
Perbedaan yang lain menurut Budi, karakter antara letusan 2018, 2019 dan 2020 sangat beragam.
Berdasarkan dari kekuatan seismiknya, letusan pada 2018 lebih kecil jika dibandingkan periode 2019, dan 2020.
Letusan terbesar dari tiga periode tersebut menurutnya terjadi pada Oktober 2019 dan Februari 2020.
Proses letusan pada 2018 sampai sekarang itu pun mempengaruhi bentuk volume kubah lava yang hingga 21 Juni lalu tercatat pada angka 200.000 meter kubik.
Dengan perbandingan kondisi volume kubah lava semula atau sebelum september 2019 yang masih diangka 468.000 meter kubik.
Baca: Gunung Merapi Erupsi, Delapan Desa di Magelang Hujan Abu, Sleman Tidak Terdampak
Baca: Lokasi Sebaran Abu Vulkanik Erupsi Gunung Merapi yang Terjadi Pagi Tadi
Meski diprediksikan akan terjadi ekstrusi yang besar, untuk saat ini BPPTKG Yogyakarta menegaskan untuk menuju pada kondisi yang membahayakan diprediksi masih cukup jauh.
Menurutnya, informasi kali ini hanya sebagai tanggung jawab pemberitahuan semata.
"Masih cukup jauh untuk menuju kondisi yang berbahaya. Namun, tetap kami koordinasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) agar menyiapkan konsep mitigasi," tuturnya.
Budi juga menekankan agar BPBD tidak terlalu buru-buru dalam mengambil langkah.
Hal itu lantaran untuk saat ini, kasus Covid-19 di DIY masih terus bergerak dan belum menunjukkan adanya kondisi yang membaik.
"Selama belum ada peningkatan level status, saya harap masyarakat untuk tetap tenang," tuturnya.
Meski begitu, ia meminta BPBD DIY dan Sleman agar menyiapkan konsep antisipasi yang aman, karena kaitanya dengan pandemi Covid-19.
Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Gunung Merapi Memasuki Fase Intrusi Baru, BPPTKG Sebut Belum Ada Bahaya Namun Harus Tetap Waspada