Laporan Reporter Tribun Jogja Christi Mahatma Wardhani
TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN - Cagar budaya tersebut berbentuk rumah Limasan yang terletak di Pundong RT 04 RW 05, Tirtoadi, Mlati Sleman terdampak pembangunan tol Yogya-Bawen.
Dulunya rumah Limasan itu merupakan posko tentara Indonesia berisi logistik yang pernah dibakar oleh tentara Belanda.
Rumah tersebut kemudian dibangun kembali oleh Mijosastro secara bertahap.
Selain pernah menjadi markas tentara Indonesia, rumah tersebut pernah digunakan sebagai kantor lurah pertama Tirtoadi.
"Bapak saya Mijosastro, dulu pernah memberi wasiat agar rumah tersebut tetap dirawat dan dijaga, agar tetap bermanfaat. Dulu eyang saya adalah glondong (lurah) sebelum merdeka. Kemudian menjadi kelurahan otonom pada tahun 1946. Saya adalah generasi ketiga,"kata putra Mijosastro, Widagdo Marjoyo (66) seusai sosialisasi tol Yogya-Bawen di Balaidesa Tirtoadi, Selasa (04/08/2020).
"Rumah itu tidak hanya sekedar rumah, dulu hampir semua kegiatan masyarakat di rumah itu juga. Anak TK dan SD kalau beraktivitas juga di situ, untuk TPA, manasik haji, drumband, gelar budaya, acara kesenian juga disitu. Maka kami betul-betul ingin menjaga wasiat bapak, nguri-uri," sambungnya.
Rumah yang berusia lebih dari 50 tahun itu pun menjadi satu-satunya cagar budaya di Tirtoadi.
Sebagai cagar budaya, rumah Limasan Mijosastro juga sudah memiliki SK dari Bupati Sleman yang ditetapkan pada tahun 2017.
Baca: Incar Bintang Inter Milan, Man United Siapkan Paket Barter dengan Umpan Pemain Ini
Baca: Tujuh Desa di Kabupaten Sleman Ini akan Dilalui Tol Yogyakarta-Bawen
Tak hanya itu, rumah dengan panjang 60 meter dan lebar 30 meter tersebut juga mendapat penghargaan dari Gubernur pada tahun 2015 sebagai cagar budaya.
Lurah Tirtoadi periode 1976 hingga 1995 tersebut mengungkapkan cagar budaya dilindungi UU Nomor 11 Tahun 2010 dan Perda Nomor 6 Tahun 2012.
Dalam peraturan tersebut dikatakan pemerintah wajib menghentikan proyek yang mengenai cagar budaya.
"Sudah lapor ke dinas kebudayaan, lapor ke Pak Krido (Kepala Dispertaru DIY). Kemudian ada tiga petugas tol yang mengecek betul tidak cagar budaya. Oleh petugas dulu bilangnya mau digeser,"ungkapnya.
Meski terdampak pembangunan tol, ia dan keluarganya berharap rumah limasan tidak hilang.
"Yang terdampak sekitar 16 meter persegi, harapan kami ya cagar budaya tidak hilang meskipun ada pembangunan nasional, tetep di situ. Mungkin kami akan mengubah posisinya saja, sehingga tidak punah,"ujarnya.
Kepala Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY, Krido Suprayitno menambahkan pihaknya akan memindahkan bangunan cagar budaya tersebut.
"Untuk cagar budaya, tadi kami sudah berikan masukan. Bangunan cagar budaya yang penting keutuhan bangunannya, bukan masalah tanahnya. Kami tugaskan, kalau ada pemindahan, ya harus utuh, meskipun cuma kena separuh, ya tetap harus semua," tambahnya.
"Tadi sudah musyawarah, dipindah oleh oleh tim pengadaan, satgas A dan satgas B. Kami hanya mengawal sampai izin penetapan lokasi. Setelah terbit, itu jadi dasar kegiatan lapangan berupa pemasangan patok, ukur, verifikasi, pendataan. Ketika pendataan maupun verifikasi juga harus didampingi pemilik, sehingga informasi yang disampaikan utuh," tutupnya.(TRIBUNJOGJA.COM)