Laporan Wartawan Tribunnews.com, Igman Ibrahim
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polda Papua menyampaikan pelaku pembunuhan staf Komisi Pemilihan Umum (KPU) Yahukimo Henri Jovinsky diduga kuat mantan anggota TNI. Pelaku adalah mantan anggota TNI yang dipecat karena kasus penjualan amunisi.
Ketika dikonfirmasi, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Ahmad Musthofa membenarkan kabar tersebut. Ia merupakan anggota TNI yang dipecat pada 2018 lalu.
"Iya, benar (pelaku mantan anggota TNI yang dipecat karena kasus penjualan amunisi, Red)," kata Mustofa saat dihubungi, Kamis (27/8/2020).
Namun demikian, ia menyampaikan kepolisian belum mengetahui secara pasti motif pelaku melakukan pembunuhan tersebut. Termasuk dugaan pelaku sakit hati karena dipecat dari keanggotaan TNI.
Baca: Staf KPU Yahukimo Sempat Pulang Kampung sebelum Dibunuh, Cerita Pernah Diludahi Orang: Aku Takut Mah
Hingga kini, pihak kepolisian masih memburu keberadaan pelaku yang diduga telah melarikan diri ke salah satu pegunungan di Yahukimo.
"Nanti kita tanya motifnya, kalau sudah ketangkap," pungkasnya.
Diberitakan sebelumnya, Kabid Humas Polda Papua, Kombes Pol Ahmad Musthofa mengatakan pihak kepolisian telah mengantongi identitas pelaku yang diduga membunuh staf Komisi Pemilihan Umum (KPU) Henri Jovinsky.
Namun, Musthofa menyebut pihaknya memiliki kendala saat menangkap pelaku penyerangan Henri. Pasalnya, pelaku yang diduga lebih dari satu orang telah melarikan diri ke pegunungan di sekitar Yahukimo.
Baca: Pembunuh Staf KPU Yahukimo Teridentifikasi, Pelaku Diduga Kabur ke Pegunungan
"Pelaku sudah teridentifikasi dan info mereka lari ke gunung," kata Musthofa saat dihubungi, Minggu (16/8/2020).
Polda Papua, kata Musthofa, telah turun tangan untuk menangani kasus tersebut. Bahkan, lanjut dia, penyidik direktorat reserse kriminal umum Polda Papua telah terbang langsung ke lokasi.
"Dirkrimum masih di Yahukimo," tukasnya.
Untuk diketahui, Henri adalah satu petugas KPU RI yang ditempatkan di Yahukimo, Papua yang meninggal dunia karena dianiaya oleh orang tak dikenal.
Peristiwa tersebut menjadi pukulan berat bagi keluarga.
Baca: Sebelum Meninggal, Henry Sempat Telepon Ibunya Mengabarkan Sudah Sampai di Yahukimo dengan Selamat
Ayah Henri, Sugeng Kusharyanto (54) hanya meminta keadilan untuk anaknya.
Ia ingin agar pelaku penganiayaan segera ditangkap dan diberikan hukuman yang setimpal.
"Tidak lebih, hanya minta keadilan. Pelaku penganiayaan Henri segera diberikan hukuman setimpal, sengaja atau tidak sengaja (saat melakukan penganiayaan)," katanya saat ditemui di rumah duka, Rabu (12/08/2020).
Pria berusia 54 tahun itu pun ingin tahu alasan pelaku melakukan penganiyaan hingga akhirnya anaknya meninggal.
"Kami hanya ingin mempertanyakan, apa niatnya sampai melukai dan menghabisi anak saya," sambungnya.
Ia mengatakan Henri adalah anak yang baik.
Pria yang lahir di Purwokerto, 4 Juni 1995 tersebut dikenal sebagai anak yang tidak suka mengeluh.
Termasuk saat ditempatkan di Yahukimo, pascaditerima menjadi ASN KPU RI 2019 lalu.
Anak pertama dari dua bersaudara itu bahkan senang saat ditugaskan di Yahukimo.
Setelah dua minggu persiapan, Henri langsung terbang ke Yahukimo.
"Tes tahun 2018, kemudian diterima Juni 2019. Saat ditempatkan di Yahukimo, dia senang tidak mengeluh tidak keberatan. Ia ingin menyumbang ilmunya di sana (Yahukimo)," katanya.
Beberapa hari sebelum peristiwa pilu itu pun Henri masih berkomunikasi dengan ibunya, Vivin Monica (54) melalui aplikasi WhatsApp.
"Komunikasi dengan Henri intens, kalau pas di Papua sering telepon. Tetapi kalau Yahukimo, hanya kalau ada signal saja. Sabtu atau Minggu kemarin masih kirim pesan ke mamahnya (Vivin). Bilang kalau sudah di Yahukimo," ujarnya.
Sejak ditempatkan di Yahukimo, Henri tidak pernah mengeluh.
Henri menceritakan pengalaman-pengalamannya selama bertugas, termasuk penyambutan-penyambutan ketika pertama kali Henri tiba.
Pertemuannya pada Agustus lalu rupanya menjadi pertemuan terakhir baginya.
Henri sempat pulang ke Purwokerto selama dua hari karena terjadi kerusuhan.
"Sempat pulang tahun lalu, ada kerusuhan. Tetapi karena sebagai ASN harus ada di sana, dia langsung berangkat lagi. Kami hanya menjemput dan mengantar ke bandara," kenangnya.
Kesedihan tak dapat ditutupi oleh ibunya.
Vivin masih sesenggukan meratapi kepergian anak pertamanya.
Ia bahkan harus dipapah saat harus berjalan.