News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Letusan Gunung Merapi 22 November 1994 Lava Panas Mengarah ke Lokasi Hajatan, Menewaskan 64 Orang

Editor: Eko Sutriyanto
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Letusan Merapi, Selasa 22 November 1994 diabadikan dari Pos Plawangan, Kaliurang, Sleman

Laporan Wartawan Tribun Jogja Setya Krisna Sumargo

TRIBUNNEWS.COM, YOGYAKARTA  – Gunung Merapi meletus 22 November 1994 atau tepat 26 tahun lalu kubah lava di puncak barat tiba-tiba runtuh.

Ambrolnya kubah lava itu memicu luncuran awan panas menuju hulu Kali Krasak.

Namun karena aliran penuh material, luncuran awan piroklastika atau wedhus gembel (awan panas) berbelok ke hulu Kali Boyong.

Permukiman penduduk di kaki bukit Turgo dan Kaliurang Barat terbakar.

Petaka itu datang tak disangka-sangka.

Luncuran awan panas juga terus terjadi susul menyusul.

Di kaki bukit Turgo, petaka mengerikan terjadi.

Puluhan orang bergelimpangan tewas.

Korban paling banyak ditemukan di rumah warga yang saat itu menggelar hajat pernikahan Marijo dan Wantini.

Permukiman di Dusun Tritis, Ngandong, Turgo, dan Tegal, porakporanda.

Panut, petugas pengamatan Merapi di Pos Plawangan, menceritakan pengalamannya.

Baca juga: Pengungsi di Gunung Merapi Pilih Tidur di Dekat Kandang Darurat, Ini Alasannya

Pada detik-detik kejadian itu, Panut sedang menerima telepon dari kerabat tetangganya di Jakarta.

Ia dalam posisi lepas kerja, di rumahnya di Kaliurang. 

Pos Plawangan terletak di puncak bukit Kaliurang.

Waktu kejadian hanya dijaga Sugiyoto, yang menunggu kedatangan partner kerja satu shift.

Panut sehari sebelumnya lepas piket.

Sore 21 November 1994, ia tak melihat gejala gunung itu bakal meletus.

Tapi cuaca lebih cerah. Bahkan hawa terasa sangat gerah di Kaliurang.

Rupanya, saat Panut menerima telepon dari kerabat tetangganya di Jakarta.

Sugiyoto juga meneleponnya.

Kelak diketahui, Sugiyoto hendak mengabarkan Merapi meletus.

Awan panas meluncur bergulung-gulung ke barat daya .

“Selesai menerima telepon itu, saya mendengar suara gemuruh dari arah puncak Merapi. Wah, meletus, pikir saya,” kata Panut di kediamannya di Kaliurang, Sabtu (21/11/2020).

“Saya langsung lari pontang-panting menuju Tlogo Nirmolo,” sambung petugas pengamat Merapi sejak 1975 ini.

“Belum ada motor waktu itu. Lari sekitar 1,5 kilometer dari rumah ini ke Tlogo Nirmolo. Saya bilang ke petugas penjaga loket, Merapi meletus, berjaga-jaga, dan jangan izinkan siapapun naik ke Plawangan,” ungkap Panut yang diangkat jadi PNS sejak 1981.

Tlogo Nirmolo waktu itu pusat rekreasi yang ramai dikunjungi pelancong.

Baca juga: Berada di Radius 6 Kilometer dari Puncak Merapi, Warga Kaliurang Barat Siap Siaga

Setelah itu, ia bersicepat naik ke Plawangan.

Berlari ia mendaki jalan setapak, tak menghiraukan keselamatan dirinya.

Di benaknya, ia hanya berpikir harus cepat sampai Pos Plawangan.

Suara gemuruh semakin keras terdengar.

Napas Panut tersengal-sengal saat pendakian kilat itu. Ketika meniti tanjakan di sisi timur Kali Boyong, Panut menoleh ke alur sungai.

“Gelombang awan panas sudah membanjiri sungai. Di sisi barat melambung menabrak bukit Turgo,” jelasnya.

Panut tak berhenti. Ia terus berlari menuju Pos Plawangan.

“Awan panas itu paling besar yang pernah saya lihat.

Bergulung-gulung dari lereng, menyusuri Kali Boyong.

Letusan Merapi, Selasa 22 November 1994 diabadikan dari Pos Plawangan, Kaliurang, Sleman (DOK | DEDI H PURWADI) ()

Hari berikutnya saya baru tahu jarak luncurannya mencapai 6,5 kilometer,” ujar kakek 7 cucu ini.

“Ujung luncuran awan panas sampai di sebelah barat Museum Ullen Sentalu sekarang,” imbuh Panut yang alumni Sekolah Teknik Negeri 4 Pakem (setara SMP).

Ketika ia akhirnya mencapai Pos Plawangan, Sugiyoto juga baru saja kembali dari arah Tlogo Putri.

Rupanya ketika luncuran awan panas terbesar terjadi, Giyoto, panggilan akrab Sugiyoto, berusaha menyelamatkan diri turun ke Kaliurang lewat jalur Tlogo Putri.

Tapi akhirnya ia batal turun begitu ingat, sebelumnya menelepon Panut.

Ia berpikir pasti sejawatnya itu akan menyusul jika terjadi letusan.

Baca juga: Viral Prosesi Wisuda di Puncak Gunung Marapi, Harus Mendaki 7 Jam, Berhasil Raih Rekor MURI

Keduanya akhirnya bersalaman di Pos Plawangan, saling berucap syukur dalam kondisi selamat.

Menurut Panut, kondisi Pos Plawangan relatif utuh. Hanya terpapar abu vulkanik cukup tebal.

Sebagian bercampur pasir panas.

“Saya tidak merasakan ternyata tengkuk saya terkena pasir panas.

Beberapa hari kemudian luka seperti terkena herpes,” kenang Panut yang dilahirkan di Kaliurang, 5 Oktober 1953. Ia memulai sekolah di SD Kaliurang I, satu-satunya sekolah yang ada di kawasan Kaliurang kala itu.

Saksi Hidup Letusan Gunung Merapi

Panut dan Giyoto jadi saksi hidup menit-menit letusan besar Merapi 22 November 1994.

Letusan pertama luncuran awan panas sejauh kira-kira 3 kilometer.

Letusan kedua sekira 4 kilometer.

Letusan ketiga paling besar. Jarak luncur awan panas mencapai 6,5 kilometer.

Peristiwa yang dimulai pukul 10.15 WIB itu tercatat menewaskan sekira 68 orang, menghanguskan permukiman penduduk di Dusun Turgo dan sebagian area Kaliurang Barat.

Setelah tiba di Pos Plawangan, Panut dan Giyoto berbagi tugas.

Giyoto mencatat luncuran awan panas dan mengamati visual lain.

Panut naik ke loteng pos, memotret rangkaian letusan dan luncuran awan panas Merapi.

Baca juga: Tinjau BPPTKG Yogyakarta, Doni Monardo Monitor Perkembangan Gunung Merapi

Sekitar pukul 12.00 WIB, dua petugas lain muncul hampir bersamaan.

Mereka terdiri atas Suramto dan Sunarto.

Keempatnya segera berbagi tugas.

Ada yang mencatat, mendokumentasikan, serta mengemasi sejumlah perangkat jika sewaktu-waktu harus meninggalkan pos tersebut.

Tak lama kemudian, muncul Dedi H Purwadi, fotografer Harian Bernas.

Di Pos Plawangan akhirnya ada 5 orang yang menyaksikan momen-momen mendebarkan saat awan panas Merapi meluncur tak henti-henti ke arah barat daya.

Telepon di pos berdering. Panggilan datang dari pejabat di Pusat Vulkanologi di Bandung.

Menurut Panut, semua petugas di Pos Plawangan diminta agar segera turun ke Kaliurang jika situasi dipandang tidak aman.

“Kami mengatakan, tetap di pos, karena tahu di puncak ada Pak Sukhyar, Bu Sri, Bu Dewi dan beberapa petugas dari Yogya,” kata Panut.

Di hari letusan itu, tim Bandung dan Seksi Penyelidikan Merapi ternyata mendaki ke puncak. Survei dan pengamatan visual.

Dr Sukhyar kelak jadi Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM, yang membawahkan Pusat Vulkanologi di Bandung.

Panut, Giyoto, Sunarto, dan Suramto, akhirnya mengemasi peralatan dan sejumlah perangkat penting. Menjelang pukul 15.00 WIB, mereka akhirnya memutuskan turun.

Fotografer Harian Bernas Dedi H Purwadi berada di antara mereka, dan ikut turun bersama-sama menuju Kaliurang.

Gemuruh dari puncak Merapi masih terdengar.

Luncuran awan panas juga terus terjadi susul menyusul.

Menurut Panut, kekuatan dan jarak luncurnya terus berkurang.

Puluhan Orang Tewas Bergelimpangan

Di seberang Kali Boyong, tepatnya di Dusun Turgo, petaka mengerikan terjadi.

Puluhan orang bergelimpangan tewas.

Korban paling banyak ditemukan di rumah seorang warga yang saat itu menggelar hajat pernikahan Marijo dan Wantini.

Permukiman di Dusun Tritis, Ngandong, Turgo, dan Tegal, porakporanda.

Turunnya ke-4 petugas Pos Plawangan itu menandai babak bersejarah pengamatan Merapi.

Pos situ ditutup selama-lamanya atas pertimbangan risiko keamanan.

Pengamatan kemudian dilakukan dari Kaliurang hingga sekarang. (Tribunjogja.com/Setya Krisna Sumarga)

Artikel ini telah tayang di Tribunjogja.com dengan judul Letusan Merapi 22 November 1994 Terjang Turgo, Panut Berlari Mendaki ke Pos Plawangan,

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini