“Kegaduhan bahkan merebak sejak awal ketika Kejaksaan Tinggi menyatakan, kasus Toro Lema merupakan kasus korupsi. Apa yang dikorupsi? Padahal status tanah belum jelas,” tegas Petrus yang juga Advokat Peradi ini.
“Menjadi pertanyaan, kenapa Kejaksaan Tinggi NTT di bawah pimpinan Yulianto melakukan sensasi dengan menyebut nilai kerugian tiga triliun rupiah?,” tanya Petrus lagi.
Lebih lanjut, Petrus menilai kerugian dimaksud tidak berdasarkan fakta.
“Kejaksaan kurang teliti dalam hal hukum adat perihal sejarah kepemilikan tanah Toro Lema,” kata Romo Benny.
Secara akal sehat, kata Romo Benny, apa yang dikatakan Kajati NTT itu patut dipertanyakan karena tampaknya tidak ada tanah di Labuan Bajo yang strategis sekalipun berharga sekitar Rp 10 juta per meter.
“Lebih merisaukan lagi, rasa keadilan masyarakat Flores dan NTT sungguh terusik karena Kajati yang satu ini (Yulianto, red) sangat bersemangat dalam kasus Toro Lema, sementara banyak kasus hebat lainnya tidak digubris seperti kasus tanah Besi Pae (TTS), dan kasus lainnya. Ada apa ya?,” tanya Petrus Selestinus.
Lebih lanjut, Petrus menilai tindakan Kajati NTT ini sungguh meresahkan sekaligus membinggungkan masyarakat karena jelas-jelas secara diametral bertentangan dengan amanat Presiden Jokowi dan Jaksa Agung Burhanuddin, yang terus-menerus menekan agar jangan merekaya kasus dan jangan memeras.
Terpisah, Sekretaris Dewan Nasional Setara Intitute Romo Benny Susetyo juga ikut menyoroti kasus tanah Toro Lema di Labuan Bajo, Flores, NTT.
Romo Benny mengingatkan kepada aparat penegak hukum agar dalam menangani perkara tanah harus mempertimbangkan nilai keutamaan publik dan harus berlaku adil.
“Jangan sampai melukai rasa keadilan masyarakat,” tegas Romo Benny.