TRIBUNNEWS.COM - Pakar Epidemiologi Universitas Airlangga Surabaya, Dr dr M Atoillah Isfandiari MKes membeberkan sejumlah kelebihan dari vaksin Covid-19 keluaran Sinovac.
Keunggulan ini terlepas dari nilai efikasi vaksin Sinovac yang jauh lebih rendah dibanding vaksin lainnya.
Sebelumnya, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) melaporkan vaksin Sinovac memiliki efikasi vaksin sebesar 65,3 persen.
Kelebihan vaksin Sinovac pertama menurut Ato terletak di bagian efek samping dari vaksin itu tercatat kurang dari 1 persen. Artinya, memiliki safety sangat tinggi.
Baca juga: Bersama Tim Lintas Instansi, KPK Kawal Pengadaan Vaksin COVID-19
“Beda dengan yang lain walaupun efikasinya 90 persen tetapi menggunakan teknologi baru yaitu mRNA. Teknologi baru di sisi lain dalam jangka pendek mungkin bisa diamati dampaknya pada saat uji klinis, jangka panjang mereka belum tahu karena ini adalah platform baru,” papar Ato, Kamis (14/1/2021).
Vaksin Sinovac juga relatif mudah disimpan, maupun logistiknya tidak membutuhkan cold chain atau rantai dingin yang canggih seperti vaksin Pfizer yang membutuhkan penyimpanan minus 70 derajat.
Yakni, dengan disimpan di dalam kulkas biasa saja masih dapat memungkinkan.
Ato juga menuturkan, bahwa dikeluarkannya ijin pakai darurat oleh BPOM karena melihat semakin banyak korban Covid-19 berjatuhan.
Sementara, waktu ideal yang dibutuhkan adalah 6 bulan untuk pemantauan agar mengetahui efek samping pasca uji klinis dilakukan.
“Jadi, uji klinis fase 3-nya sudah selesai, sehingga data-data yang dicatat selama pelaksanaan uji klinis hasilnya bisa diperoleh dan dianalisis. Uji klinis sudah selesai hanya versi pemantauan pasca ujinya itu yang kemudian kita tunggu dengan pertimbangan bahwa selama uji mulai ke-1 sampai ke-3 laporan terkait dengan keamanan dan efikasi sudah didapatkan,” tuturnya.
Baca juga: Ariel Noah Cerita Kondisinya setelah 24 Jam Menerima Vaksin
Diberikan Pada Orang Sehat
Bagi Ato, vaksin berbeda dengan obat. Obat untuk mengobati orang sakit. Sementara vaksin untuk mencegah yang sehat agar tidak sakit.
“Sehingga vaksin itu harus diberikan kepada orang yang masih sehat. Kalau sudah sakit bukan menjadi target dari vaksin. Karena, yang bersangkutan sementara sudah punya antibodi alami yang mungkin memang akan terdegradasi seiring waktu,” ucapnya.
Perihal penggunaan vaksin Sinovac, Ato mengatakan, agar saat ini diprioritaskan paling tidak untuk mereka yang belum punya kekebalan sama sekali.
Sehingga, vaksinasi diberikan pada orang sehat, bukan orang sakit.
“Yang harus diberikan dulu ya tentunya yang bisa menolong dulu, dalam hal ini adalah tenaga medis. Karena analoginya tenaga medis aman dari infeksi, maka selanjutnya bisa lebih optimal dalam menolong orang lain, termasuk juga menolong untuk mendapatkan kekebalan,” pungkasnya.
Angka Efikasi Vaksin Sinovac Melebihi Standar WHO
Sementara itu, angka efikasi yang diumumkan BPOM menurutnya juga terbilang tinggi.
Pasalnya, standar yang diberikan WHO sebesar 50 persen, sehingga paling tidak, angka efikasi yang diumumkan telah melampaui.
Baca juga: Keliru, Rencana Menkes Bolehkan yang Divaksinasi Covid-19 Terbang Tanpa Tunjukkan Hasil Tes PCR
"Diumumkannya angka efikasi vaksin tersebut menjadi salah satu bentuk kejujuran ilmiah sebagai upaya menyakini bahwa efikasi diperoleh melalui uji klinis yang sesuai dengan asas good clinical practice (GCP),"ujarnya.
Selain itu, sambungnya, diumumkannya angka efikasi vaksin juga merupakan bagian dari menjunjung tinggi kejujuran ilmiah secara bertanggung jawab.
“Kalau enggak jujur bisa saja akan dilaporkan nilai yang lebih tinggi akan lebih tinggi. Tapi dengan angka segitu itu artinya bahwa aplikasi itu diperoleh secara bertanggung jawab,” ucapnya pria yang juga menjabat sebagai Wakil Dekan II Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Unair ini.
Artikel ini telah tayang di surya.co.id dengan judul Pakar Epidemiologi Unair Surabaya Ungkap Beberapa Keunggulan Vaksin Sinovac
(Surya.co.id/Sulvi Sofiana)