TRIBUNNEWS.COM - Nasib tragis menimpa seorang bocah asal Desa Bejen, Kecamatan Bejen, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Bocah berinisial A itu meninggal akibat praktik perdukunan yang dijalankan oleh kedua tetangganya.
Kasus ini terungkap pada Minggu (16/5/2021) tengah malam.
Semula, bocah berusia tujuh tahun itu disebut sebagai sosok anak yang nakal dan dihinggapi makhluk lain.
Baca juga: Bocah di Temanggung Tewas Dibenamkan ke Bak Mandi, Tersangka Ayah Ibu Korban, Dukun serta Asistennya
Baca juga: Mayat Bocah Disimpan Orangtua di Kamar, Tersisa Tulang dan Kulit, Terpengaruh Bujukan Dukun
Agar terbebas dari hal tersebut, dukun di desa itu meminta orangtua A agar sang anak diruwat.
Mereka meminta A makan bunga mahoni dan cabai lalu menenggelamkannya ke bak mandi.
Mirisnya, A yang sudah meninggal akibat menjalani ritual tersebut tak segera dimakamkan.
Jenazahnya malah disimpan di kamar selama berbulan-bulan hingga tinggal kulit dan tulangnya.
Inilah kronologi lengkap meninggalnya bocah berinisial A, asal Temanggung karena praktik dukun seperti dikutip dirangkum Tribunnews.com dari TribunJogja.com:
1. Disebut anak nakal
Peristiwa yang menghebohkan Desa Bejen ini berawal dari kedua orang tua A, yaitu M dan S, yang berkonsultasi kepada kedua tetangganya, H dan B, sekitar Januari 2021.
Kedua tetangganya ini berprofesi sebagai dukun yang membuka praktik supranatural di desa itu.
Menurut keterangan Kepala Desa Bejen, Sugeng, H dan B mengklaim, A adalah anak nakal dan dihinggapi makhluk dari dunia lain.
Keduanya lantas merayu M dan S agar korban diruwat dan menjalani sejumlah ritual.
2. A disuruh makan bunga mahoni dan cabai
Sebagai pembuktian pernyataannya, H kemudian menyuruh A untuk memakan bunga mahoni dan beberapa cabai.
Jika korban tidak merasakan pahit, maka A anak makhluk dunia lain.
"Untuk mengetes kalau anak itu adalah anak genderuwo, pernah korban itu disuruh makan bunga mahoni."
"Itu kan pahit sekali, sama cabai. Kalau korban tidak merasa pahit, berarti dia benar anak genderuwo."
"Dan benar saja, waktu itu korban tidak merasakan pahit," ungkap Sugeng.
Melihat hal itu, orang tua A semakin percaya, sang anak bermasalah.
Harapan M kepada H dan B untuk menyembuhkan buah hatinya semakin tinggi.
3. Ditenggelamkan ke bak mandi
Ritual untuk 'menyembuhkan' A pun dimulai dengan meminta bocah cilik itu mandi kembang tengah malam.
Lalu, korban juga ditenggelamkan ke dalam bak mandi.
Tak hanya sekali, bocah yang masih duduk di bangku SD itu dimasukkan ke dalam bak sebanyak empat kali.
Pada saat itu, ritual pertama berupa menenggelamkan A di bak mandi tidak berpengaruh pada kesehatan A.
Begitu pula dengan ritual kedua dan ketiga.
Saat itu, A masih sanggup menahan serangkaian ritual itu semua.
"Pertama nggak apa-apa, kedua dan ketiga juga nggak apa."
"Pas yang keempat mungkin karena terlalu lama korban ini akhirnya pingsan," kata Sugeng.
Sugeng juga mengatakan, penyebab kematian itu didalangi oleh H.
Ternyata, si ibu sempat menenggelamkan A sebanyak satu kali dan ayahnya, M, dua kali.
"Dan terakhir itu, B satu kali melakukannya dan itu lama hingga menyebabkan A pingsan."
"Setelah keempat kalinya mungkin tubuhnya lemah, terus dia pingsan, nggak sadarkan diri lama sekali," lanjut Sugeng.
4. Janji akan hidupkan lagi
Saat A sudah tak sadarkan diri, B kemudian meminta M untuk memanggil H.
Begitu sampai di rumah korban, H tahu, A sudah tidak sadarkan diri.
Kala itu, H justru menjanjikan kepada M akan menghidupkan kembali anaknya yang telah meninggal dunia tersebut.
"Yang paling lama menenggelamkan A ke bak mandi itu B."
"Sampai akhirnya tak sadarkan diri, Lalu Pak M memanggil H."
"Tapi dia bilang, 'tenang-tenang nggak usah bingung, nanti tak hidupkan lagi'," terang Sugeng.
Masih kata Sugeng, saat itu, H meminta M untuk membersihkan tubuh anaknya.
Ia juga diminta untuk menaruh jenazahnya di dalam kamar dengan ditutupi kain.
"Dia bilang, supaya jenazah A dibersihkan dulu, dirawat dulu. Setelah bersih dijanjikan akan dihidupkan lagi," bebernya.
5. Berawal dari kecurigaan paman dan kakek
Kasus ini pun terbongkar setelah paman dan kakek korban curiga karena korban jarang terlihat.
Sugeng menjelaskan, sang paman kerap menanyakan keberadaan A kepada orang tua korban, yaitu M dan S.
M berkilah, A sedang berada di rumah kakeknya atau memberikan jawaban berbelit lainnya.
Perasaan kehilangan juga dirasakan kakek korban yang tinggal di Desa Congkrang dan masih satu kecamatan dengan keluarga korban.
Sebab, setiap kali datang, ayah korban tidak pernah mengajak A.
"Setiap kali datang ke rumah mbahnya yang di Congkrang, mbah e selalu tanya A mana? Jawabnya A baru main, A masih ngaji," kata Sugeng.
Akhirnya, pada Lebaran hari kedua, paman korban mendatangi rumah sang kakek karena ingin bertemu keponakannya itu.
Sang kakek justru menjawab tidak tahu sebab A sudah tidak lama tidak main ke rumahnya.
Masih kata Sugeng, karena jawaban orang tua korban dianggap mencurigakan, akhirnya kakek korban memutuskan untuk mendatangi rumah M.
"Di sana M ditanya sama mbahnya A. Mana A? M menjawab ada di rumahnya H (tersangka, red)," kata dia.
Singkat cerita, kakek korban menyuruh M untuk menelepon H dan diminta untuk segera datang ke rumah karena ditunggu.
Sesampainya di rumah M, H dan M menjelaskan kondisi serta keberadaan A yang saat itu berada di dalam kamar dengan kondisi tubuh ditutupi kain.
"Setelah ada negosiasi akhirnya kakek A disuruh lihat A di kamarnya."
"Begitu membuka pintu, kakeknya ini kaget dan nggak percaya."
"Dia syok karena gak percaya jika yang di kamar itu adalah cucunya," jelas Sugeng.
6. Dobrak kamar dan kerahkan pemuda
Melihat fakta yang dijumpai pada saat itu, kakek korban lantas menghubungi Kades Congkrang untuk meminta solusi atas fakta yang baru saja dilihat.
Sugeng pun menerima telepon dari Kades Congkrang yang meminta agar pemerintah desa memastikan apa sebenarnya yang terjadi pada A.
Pada Minggu (16/5/2021) malam, Sugeng yang didampingi oleh Kepala Dusun, RT dan RW mendatangi rumah M.
Di sana, Sugeng menanyakan kepada M terkait keberadaan A yang katanya disembunyikan di dalam kamar.
"Pertama nggak mau ngaku. Bilangnya anaknya di rumah H."
"Saya nggak sabar ya tak dobrak saja. Begitu pintu terbuka, saya langsung syok melihat anak itu sudah meninggal," ungkapnya.
Saat itu juga, Sugeng melapor ke Polsek Bajen agar pihak kepolisian segera menangani.
"Dari kepolisian langsung menyuruh menangkap B dan H. Saya kerahkan pemuda untuk tangkap keduanya," jelas Sugeng.
7. Empat orang jadi tersangka
Terbaru, Polres Temanggung menetapkan empat orang sebagai tersangka atas meninggalnya bocah A.
Mereka adalah ayah korban M, ibu korban S, tetangga korban yaitu H dan B.
Dikutip dari Kompas.com, polisi juga mengamankan barang bukti di antaranya berupa karpet plastik, kain putih, beberapa botol pengharum ruangan, tisu, cotton bud, kamper, keranjang sampah, hingga baju korban.
Polisi juga mengamankan ponsel para tersangka yang diduga menjadi media komunikasi rencana penganiayaan tersebut.
Dalam keseharian, tersangka M bekerja sebagai penderas karet dan S sebagai penjahit di rumah.
Sementara itu, tersangka H merupakan karyawan swasta dan B adalah karyawan sebuah BUMN di wilayah Temanggung.
Kasat Reskrim Polres Temanggung, AKP Setyo Hermawan, menegaskan, orangtua korban, M dan S, disangkakan pasal tentang kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan meninggal dunia dan atau kekerasan dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Primair Pasal 76 C Jo Pasal 80 ayat 3 Undang-undang (UU) nomor 35/2014 tentang Perlindungan anak, subsidair Pasal 44 ayat 3 UU nomor 23/2004 tentang penghapusan KDRT, subsider pasal 351 ayat 3 KUHPidana.
Adapun untuk tersangka H, pasal tentang kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam Primair Pasal 76 C Jo Pasal 80 ayat 3 UU nomor 35/2014 tentang perubahan atas UU nomor 23/2002 tentang perlindungan anak, subsider pasal 351 ayat 3 KUHPidana.
Sementara untuk tersangka H, kekerasan terhadap anak yang mengakibatkan meninggal dunia sebagaimana dimaksud dalam pasal 55 KUHPidana jo Primair Pasal 76 C Jo Pasal 80 ayat 3 UU nomor 35/2014 tentang perlindungan anak, subsider pasal 351 ayat 3 KUHPidana.
"Ancaman hukumannya paling lama 15 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 3 miliar."
"Apabila dilakukan oleh orangtua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka ancaman hukuman ditambah sepertiga dari ancaman hukuman di atas," kata Setyo.
(Tribunnews.com/Sri Juliati, TribunJogja/Miftahul Huda, Kompas.com/Ika Fitriana)