TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR – Masa pandemi Covid-19 membuat sektor perekonomian di Indonesia ikut-ikutan loyo.
Hal ini membuat pendapatan negara ikut-ikutan seret akibat loyonya sektor tersebut.
Salah satu upaya untuk meningkatkannya adalah melalui optimalisasi sektor perpajakan.
Rencana kebijakan tersebut diatur dalam perubahan kelima Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
Dalam rencana tersebut pemerintah bakal menerapkan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen bagi sekolah atau jasa pendidikan lainnya.
Terkait hal tersebut, Kepala SMA Muhammadiyah 2 Singaraja, DM Edy Suprayitno mengaku rencana tersebut sangat memberatkan para peserta didik di masa pandemi.
Pasalnya, banyak peserta didiknya yang justru kesulitan untuk bersekolah akibat orang tuanya terdampak pandemi.
“Ya kebijakan tersebut berat ya, ini kan masa pandemi, masa peserta didik dibebankan seperti itu,” katanya, Jumat (11/6).
Dia juga menyebutkan, saat ini banyak gaji guru, khususnya di sekolah swasta yang cukup kecil.
Apabila kebijakan tersebut tetap diterapkan justru akan mematikan sekolah swasta.
“Kita juga sekolah swasta kan juga berat keuangannya, gaji guru kecil masa dipotong lagi dengan pajak,” paparnya.
Malahan, menurut Edy, sapaan akrabnya seharusnya pemerintah membantu sekolah-sekolah swasta yang selama ini terpinggirkan. Menurut dia, bantuan-bantuan yang diberikan pemerintah kepada sekolah swasta dirasa masih kurang jika dibandingkan dengan sekolah negeri.
“Saya kira kebijakan ini justru mebading (terbalik, Red), seharusnya pemerintah membantu sekolah-sekolah, khususnya swasta yang selama ini terpinggirkan, bukan justru malah menarik pajak, kan lucu ini,” papar Edy.
Kepala SMA Negeri 1 Denpasar, M Rida juga meminta agar rencana tersebut dikaji terlebih dahulu.