“Untuk duduknya pun anak dari satu RT kita jadikan satu. Jadi biar mereka saling tahu kalau tetangganya sakit,” ujar alumnus Sastra Inggris UNS Solo ini.
Tidak hanya itu, Isti juga selalu mengingatkan orang tua melalui grup WhatsApp agar selalu menerapkan protokol kesehatan kepada anak-anaknya saat berangkat belajar.
Apabila ada anak yang sedang sakit, anak tersebut tidak diperbolehkan mengikuti bimbel.
Begitu juga kalau tidak memakai masker, sang anak juga diminta pulang.
Fokus Bimbingan Belajar Membaca
Program bimbel bagi anak SD-SMP ini berlangsung hingga Desember 2020 sesuai jangka waktu kerjasama dengan Pertamina.
Setelah itu, kata Isti, program bimbel tetap berjalan secara mandiri sembari melakukan evaluasi.
Berdasar evaluasi itu, diputuskan Taman Baca hanya akan memberi bimbingan belajar membaca.
“Karena permasalahan yang dihadapi dan perlu mendapat bimbingan itu ternyata pada kemampuan anak-anak membaca. Jadi, kita putuskan sudah tidak lagi menerima bimbingan belajar untuk anak kelas 6 SD atau SMP kelas 1. Meski sebenarnya banyak anak kelas 6 atau SMP yang mau les, tetapi kita tolak,” ujarnya.
Keputusan untuk memberi bimbingan belajar membaca (bimba) juga didasarkan pada evaluasi atas manajemen pada program bimbel sebelumnya.
Saat memberikan bimbingan untuk anak kelas 1 SD hingga kelas 1 SMP, prosesnya ternyata cukup rumit karena anak-anak berasal dari beragam kelas dan beragam sekolah.
“Tugasnya dari sekolah kan beda-beda semuanya. Materinya-materinya sampai mana, juga beda-besa semuanya. Jadi gurunya juga kadang bingung,” jelasnya.
Baca juga: Murid Kelas 4 SDN di Cianjur Lupa Cara Membaca Usai PJJ, Dugaan Penyebab hingga Pendapat Pakar
Bimba ini awalnya hanya diikuti 16 anak.
Setiap kali datang, mereka diminta membayar biaya administrasi antara Rp 5 ribu hingga Rp 10 ribu, sesuai dengan kemampuan masing-masing. Namun, ada juga yang dibebaskan apabila memang tidak mampu membayar administrasi.