TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Sudah hampir dua tahun pariwisata Bali terdampak pandemi. Dan kini Covid-19 sudah melandai. Bagaimana perkembangan terkini pariwisata, Ketua Dewan Pengurus Daerah Association of the Indonesian Tours and Travel Agencies (DPD ASITA) Bali, Putu Winastra menjelaskannya pada Tribun Bali, Kamis (18/11). Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana perkembangan pariwisata saat ini? Apakah sudah mulai bangkit lagi?
Kondisi pariwisata, terutama mancanegara masih 0. Tidak ada kedatangan melalui Bandara Ngurah Rai ya karena sampai saat ini belum ada pesawat internasional yang mendarat di Ngurah Rai.
Saya kira saya perlu diluruskan. Border Bali dibuka, sudah sebulan lebih, tapi sama sekali belum ada pergerakan wisman datang ke Bali. Ada apa? Kok border sudah dibuka, tetapi tidak ada wisatawan.
Berarti ada kebijakan yang kurang tepat dalam pembukaan border ini. Setelah kami analisa dan lihat di lapangan, ada tiga poin penting yang kami rasakan penerapannya kurang tepat.
Wisatawan domestik sudah mulai berdatangan ke Bali, sejauh mana dampaknya pada pelaku pariwisata?
Belum ada dampak kalaupun wisdom dikatakan 10 ribu setiap hari datang, tapi kami bisa lihat di jalur Kuta, Seminyak Legian tidak banyak terdampak. Kan bisa lihat faktanya.
Karena, Bali ini memang dari awal terdesain untuk wisman. Bukan dalam artian kita mengesampingkan wisdom ya, tetapi dari segala hal, seperti biaya pengeluarannya, length of stay-nya sangat berbeda sekali.
Contoh seperti domestik sekarang bisa dia jalan sendiri, kemana-mana sendiri bahkan dia bawa mobil kan kita tidak banyak berbuat juga untuk hal itu.
Apakah sudah banyak pekerja pariwisata yang kembali bekerja?
Tergantung. Kalau yang handle wisman sama sekali belum ada pekerjaan karena wisman belum ada. Tapi kalau yang domestik sudah ada, tetapi tidak terlalu banyak. Dari 404 anggota BPW yang ada, 90 persen lebih itu tamunya dari inbound dari luar negeri. Jadi 10 persen saja yang domestik.
Jadi apa penyebab wisman belum datang?
Satu, terkait dengan E-Visa. E-visa ini dari cara apply-nya terlalu menjelimet. Kedua, kuota visa kunjungan ini, termasuk visa-visa yang lain 1.500 visa dalam satu hari dan itu sedikit sekali.
Ketika kita meng-apply sesuatu dengan jumlah terbatas dari awal sudah terjadi kesulitan-kesulitan. Nah sekarang orang yang mau bepergian untuk last year liburan dari awal dia sudah mempunyai hambatan, maka otomatis turis akan mengurungkan niatnya bepergian.
Lalu masalah karantina selama tiga hari berada dalam hotel, ini sangat menyiksa wisatawan yang berlibur ke Bali. Mengapa tidak berkaca dengan Phuket, Sunbok, misalnya. Di sana tidak ada karantina, tetapi mereka stay di hotel hari pertama sambil menunggu hasil PCR keluar.
Kalau negatif, mereka akan langsung bisa bebas ke mana saja. Karena kan kepulauan, jadi hampir sama dengan Bali. Jadi solusinya adalah karantina ditiadakan.
Kalaupun iya ya sambil menunggu PCR atau karantina di Bali. Jadi Pulau Bali sebagai tempat karantina. Terakhir, 3x24 jam waktu karantina. Bisa dirasakan misalnya stay satu hari satu malam di kamar tidak ke mana-mana. Bosan kan?
Ketiga, terkait direct flight. Tidak ada pesawat penerbangan internasional dari Eropa utamanya datang direct ke Bali. Tidak mungkin. Pasti akan melalui transit.
Juga tidak mungkin ada orang yang bepergian itu dari original country-nya atau warga negaranya saja. Pasti ada warga negara-negara lain yang ada di pesawat tersebut untuk berlibur ke Bali.
Tetapi aturannya harus country origin dan harus dari negara yang sudah diizinkan. Nah ini menjadi kesulitan buat airline untuk terbang ke Bali.
Oleh karena itu kami mengusulkan agar aturan ini dipermudah. Kalau memang mereka harus terbang dari Eropa mereka bisa singgah di salah satu negara sebagai hub. Ini kan akhirnya airline itu bisa mengambil penumpang di negara lain, termasuk di 19 negara itu.
Kami berharap agar country yang masuk dalam listing yang bisa datang ke Bali lebih dari itu, di Australia, New Zealand kan mereka bersiap untuk itu. Hal-hal inilah yang menyebabkan wisatawan sampai saat ini belum datang di Bali.
Oleh karena itu kami mohon kepada instansi terkait, baik pemerintah pusat, daerah, kementerian terkait agar mengkaji peraturan ini sehingga benar-benar bisa terealisasi.
Jangan sampai Bali dibuka akhirnya hanya sekedar wacana. Sekarang beberapa negara Asean seperti Vietnam, Kamboja, Singapore, Malaysia buka dan semua tanpa karantina.
Apakah kekhawatiran negara-negara tersebut tidak ada terhadap kesehatan? Pasti ada, tetapi harus berimbang. Selain kesehatan, ada faktor ekonomi yang harus diperhatikan.
Kalau kita berbicara ada gelombang kedua dan ketiga, kalau saya dengarkan pemaparan dari Dubes RI di Bangkok kemarin saat FGD, terutama untuk tiket Sunbok-Bali sangat melebihi dari kondisi-kondisi yang disebutkan.
Contoh misalnya seperti positive rate. Di Phuket itu 900 orang setiap hari yang baru, tetapi tetap jalan. Kemudian herd immunity 70 persen dan Bali sudah 80 lebih. Vaksinasi dosis kedua Bali sudah hampir 100 persen. Artinya, sudah siap sekali kita.
Kemudian kalau kita berbicara industrinya CHSE-nya hotel dan restoran sudah ribuan. DTW juga sudah ratusan. Dari segi kesiapan kami sangat-sangat siap. Pertanyaannya kenapa masih tetap tidak bisa dibuka? Berarti ada sesuatu yang kurang tepat di kebijakan tersebut.
Oleh karena itu usulan kami kepada pemerintah pusat dan daerah agar ada satu suara bersinergi. Karena setiap kelembagaan mengeluarkan peraturan itu tumpang tindih.
Ketika buka, kesehatan Bali ini kan direncanakan dari awal sebagai pilot projects. Makanya vaksinasi digenjot dan sebagainya. Dan masyarakat Bali tingkat kepatuhannya di atas 90 persen terhadap prokes. Jadi apalagi yang harus dikhawatirkan.
Kalau memang mengatakan akan ada gelombang ketiga sampai kapan kita seperti ini kalau tidak ada keberanian. Justru dengan adanya vaksinasi ini harus ada keyakinan bahwa sesuatunya berubah lebih baik.
Bahkan tahun lalu tidak vaksin belum berjalan, makanya wajar kalau sekarang treatment disamakan dengan tahun lalu yang belum ada vaksinasi kan tidak tepat juga.
Jadi oleh karena itu kita harus ada keyakinan dan mempunyai keberanian dalam membuka Bali secara menyeluruh dalam artian peraturan ini benar. Jangan seolah dibuka, tetapi nyatanya tidak. Saya analogikan ketika kami sudah bersih-bersih rumah dan sebagainya, tapi gemboknya masih dibawa. Bagaimana mau masuk? Kan tidak bisa.
Apa saja aturan dari pemerintah pusat yang perlu dievaluasi sehingga wisman bisa datang ke Bali?
Peraturannya harus diubah. Selama peraturan yang sekarang tetap dijalankan akan seperti ini terus.
Contohnya visa, mengapa tidak dibuka aja? Visa on arrival, misalnya, kepada negara-negara 19 ini. 19 negara ini sudah dikategorikan low risk country. Kalau misalnya medium risk country, bisa saja dilakukan yang lebih ketat. Ini parameternya jelas.
Jadi ketika visanya sudah oke, karantina tidak ada, airline juga diberikan aturan yang jauh lebih mudah, ya otomatis wisatawan akan datang.
Satu hal yang sangat penting bahwa liburan summer tahun depan 2022 yang mulai Mei dan seterusnya itu mereka periode booking-nya mulai Desember, Januari, Februari sudah ada bookingan untuk liburan Mei tahun depan.
Apabila peraturan ini tidak ada perubahan sampai dengan awal Desember, maka kita akan kehilangan momen satu tahun lagi di 2022. Jangan berharap banyak 2022 akan ada turis. Kita akan siap-siap untuk melarat lagi. Nah apa kita mau seperti itu?
Di sini perlu ada perhatian untuk Bali, terutama pelaku pariwisata 32 ribu yang mempunyai pekerjaan langsung di pariwisata dan jutaan orang yang ada di belakang 32 ribu tersebut.
Sekarang kalau memang harus aturan ini diperketat dan sebagainya, apa yang harus diberikan kepada kami? Sampai sekarang pelaku pariwisata Bali kan belum mendapatkan apa-apa. Bali dibuka kita meminta soft loan, bank tidak memberikan karena pergerakan ekonomi tidak ada.
Di sinilah peran semua pihak, termasuk pelaku pariwisata dan masyarakat. Mudah-mudahan apa yang kami sampaikan bisa membantu pemerintah juga agar derita masyarakat Bali saat ini bisa didengar oleh pusat.
Australia katanya sudah izinkan warganya melakukan perjalanan ke luar negeri, termasuk Indonesia, kenapa mereka juga belum ada ke Bali?
Sekali lagi, sekarang mengenai visa dan karantina. Kalau sudah karantina tiga hari orang mana mau. Jangan sampai kesempatan ini diambil oleh negara tetangga, seperti Thailand, Kamboja, sudah buka mulai tanggal 20 ini tanpa karantina. Jangan sampai kita kehilangan momen ini.
Prediksinya kapan wisman akan ke Bali? Apakah akhir tahun ini atau tahun depan?
Seperti yang saya bilang tadi. Selama aturan ini tidak berubah, tidak akan ada perubahan terhadap kunjungan pariwisata. Tapi ketika ini diubah dengan apa yang saya sampaikan, maka saya yakin pasti datang wisman tersebut.
Gubernur Bali sempat katakan November akan masuk 20.000 wisman, bagaimana tanggapan Bapak?
Saya kurang tahu juga, Pak Gubernur mendapat informasi seperti itu dari mana? Tapi yang kedua, saya kira ketika kita berbicara booking-an, terutama inbond, saya kira selama pandemi tetap ada booking-an, bahkan sampai 2022 ada booking-an.
Sehingga kita juga tidak bisa tahu booking-an ini matrelisasi atau tidak. Tergantung dari kebijakan itu. Kalau ada 20 ribu kamar hotel sudah terpesan, saya kira, itu cukup sedikit, kalau benar. Mengapa demikian? Dengan aturannya yang sekarang, misalnya, itu kan 20 ribu room night itu dikatakan Pak Gubernur pada saat karantina 5 hari.
Kalau sekarang kita hitung saja 20 ribu dibagi 5 hari berarti 4 ribu tamu sekarang. Kalau kita berbicara kalau tinggalnya tidak mungkin datang ke Bali untuk karantina saja. Anggap saja 10 hari. Berarti kan kalau hari itu cuma 1.000 tamu kalau kami bagi dengan anggota kami sangat sedikit sekali.
Jangan melihat 20 ribu, kalau 20 ribu buat kamu di ASITA cukup kecil. Jadi anggap aja sekarang 20 ribu dibagi 10 malam kemudian dibagi anggota kami 400. Sangat sedikit. Tidak mungkin kan? Jadi mau menyampaikan bahwa bookingan ini matrelisasi apa tidak? Kalau bookingan ini tidak termatrelisasi berarti ada kesalahan atau sesuatu penyebab tidak terealisasi. Kalau bookingan setiap saat ada, Desember saja ada. Tetapi kan tidak tahu mereka jadi datang atau tidak. (Ni luh putu wahyuni sri utami)