Laporan Wartawan Tribunnews.com, Dennis Destryawan
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Peneliti dari IPB University menilai menghapus Keramba Jaring Apung (KJA) di Danau Toba, Sumatera Utara tidak tepat.
"Menghapus KJA dari Danau Toba bukanlah tindakan yang tepat," Ketua Tim Peneliti Care LPPM IPB University Manuntun Parulian Hutagaol, dalam keterangannya, Rabu (22/12/2021).
Baca juga: Budidaya Ikan Sistem Keramba Jaring Apung Sukses Berikan Efek Ganda Bagi Perekonomian Masyarakat
Menurut Parulian, menghapusnya justru akan membawa kerugian sosial ekonomi besar bagi perekonomian dan masyarakat kawasan Danau Toba.
"KJA sebaiknya dipertahankan dan dikembangkan di perairan Danau Toba," ucapnya.
Parulian berpandangan, dengan adanya KJA maka pencemaran lebih terkendali.
Semua sumber pencemaran, harus diwajibkan menggunakan teknologi ramah lingkungan dan mengadakan kerjasama yang solid dalam mengelola suatu lembaga co-manajemen.
Baca juga: Cerita Warga Terkait Buaya di Pasaman Barat yang Makan Ikan dalam Keramba
Peneliti Care LPPM IPB University Dahri Tanjung menuturkan, daya dukung Danau Toba untuk budidaya perikanan berkisar antara 33.810 ton sampai 101.435 ton per tahun.
"Dari kondisi tersebut, tim peneliti IPB University mengusulkan agar SK Gubernur Sumatera Utara untuk direvisi dengan dengan daya dukung 10.000 ton per tahun menjadi 67.000 ton per tahun," katanya.
Dahri menerangkan, volume produksi budidaya KJA saat ini sekitar 74.000 ton per tahun.
"Bisnis ini telah menyerap sekitar 12.300 tenaga kerja dan menciptakan multiplier effect yang besar dengan nilai ekonomi sekitar Rp 4 triliun per tahun," sambungnya.
Dahri menambahkan, nilai ekspor ikan nila dari Danau Toba sebesar Rp 1,5 triliun per tahun dengan tujuan negara Jerman, Prancis, Belanda, Kanada, Amerika Serikat, Jepang, Taiwan, Filiphina, Oman, Dubai, Arab Saudi, Kuwait, dan Italia.
“Hal ini menghidupi masyarakat kawasan Danau Toba hingga kabupaten terdekat mencapai 5.000 orang. Tenaga kerja saja mencapai 4.800 orang dan tenaga pendukung 2.500 orang,” ucap Dahri.