TRIBUNNEWS.COM, BULELENG - Nyoman Tiya Martini tidak menyangka jika usaha yang ia mulai dari nol, bisa sukses seperti saat ini.
Wanita asal Banjar Dinas Sambangan, Desa Sambangan, Kecamatan Sukasada, Buleleng ini berhasil meraup omzet hingga Rp 200 juta per bulan, berkat kepandaiannya membaca peluang.
Perempuan kelahiran 26 Maret 1994 ini membuka usaha pembuatan dupa bersama suaminya, Made Indra Parmadika (29).
Menurut Tiya, dupa menjadi kebutuhan sehari-hari umat Hindu di Bali. Layaknya beras, masyarakat membeli dupa dan menggunakannya setiap hari untuk sembahyang.
Pada 2018 lalu, ia pun mencoba membuka usaha pembuatan dupa. Wanita berparas manis ini menyebutkan, bisnis ini benar-benar ia mulai dari nol.
Bukan warisan dari orangtua, maupun mertuanya. Artinya, modal awal yang digunakan murni dari hasil tabungan Tiya dan suaminya, saat masih berpacaran.
"Sebelum mulai bisnis dupa ini, saya dengan suami saat masih berpacaran sempat membuka bisnis membuat liquid untuk rokok elektrik. Bisnis liquidnya sebenarnya lancar, cuma kami ingin beralih ke dupa, karena dupa itu sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Tidak menutup kemungkinan kedepannya kami akan melanjutkan juga bisnis liquidnya," katanya.
Tiya menyebutkan, pada awal membuka bisnis dupa ini, ia hanya mampu membeli satu unit mesin bekas pencetak dupa.
Ia bersama suami kemudian belajar dari internet serta dari produsen dupa lainnya. Lalu memencoba membuat dupa sendiri.
Butuh waktu hingga kurang lebih satu tahun, untuk Tiya melakukan uji coba membuat dupa. Hingga berkat kerja kerasnya itu, dupa dengan merk Ajeg Bali itu pun kini berhasil terjual di seluruh Bali, bahkan di Sulawesi.
Mesin pencetak dupa yang ia miliki kini berjumlah enam unit. Dengan mempekerjakan 13 orang karyawan, Tiya mampu memproduksi dupa hingga 100 kg per hari.
Dupa yang dibuat memiliki ukuran yang berbeda-beda. Mulai dari ukuran 16 cm, 22 cm, 28 cm dan 32 cm, hingga dupa yang mampu menyala selama dua jam. Dupa-dupa itu dikemas dalam bentuk pepelan, hingga kemasan kiloan, dengan nilai jual kisaran Rp 30 ribu hingga Rp 50 ribu.
Dikatakan Tiya, dupa Ajeg Bali ini berhasil menarik minat masyarakat, lantaran wangi aroma terapi yang dihasilkan lebih tahan lama.
Bila mengenai tangan, abunya juga tidak akan terasa panas. Nama Ajeg Bali pun dipilih sebagai merk, lantaran seluruh bahan baku yang digunakan berasal dari Bali.
"Saya menggunakan bahan alami, yang bisa diperoleh di Bali. Saya pakai campuran bubuk kayu jati, batok, arang dan aroma bunga. Kalau orang lain, kadang bahannya itu impor dari Cina," jelasnya.
Tiya mengaku akan terus mengembangkan usahanya ini, dengan berencana menambah mesin pencetak dupa, serta menambah jumlah karyawannya.
Mengingat permintaan dari para pelanggannya kian hari semakin meningkat. Hal ini juga terlihat dari jumlah masyarakat yang menawarkan diri sebagai reseller.
"Hampir di setiap desa di Buleleng, sudah ada reseller-nya. Di Denpasar juga ada. Astungkara permintaannya memang cukup banyak," katanya. (ratu ayu astri desiani)
Baca juga: Liverpool vs West Ham, LiveOn MolaTV Hari: Minggu (6/3) Pukul 01.30 Wita