TRIBUNNEWS.COM, DENPASAR - Ahli Virus Universitas Udayana (Unud) Bali, Prof Dr drh I Gusti Ngurah Kade Mahardika, menyampaikan bahwa di wilayah Indonesia di luar ruang tanpa masker memang memiliki risiko rendah terpapar.
Apa alasannya?
“Indonesia merupakan wilayah dengan iklim panas dan lembab, virus tidak akan bertahan lama di open space (ruang terbuka). Jadi memang bukan berarti zero risiko, tetapi risiko rendah. Dari awal Covid-19 sudah sering saya sampaikan bahwa tidak apa-apa tanpa masker di ruangan terbuka,” kata Prof Mahardika kepada Tribun Bali, Rabu (18/5).
Berbanding terbalik dengan aktivitas di dalam ruangan dan ber-AC, seperti mall, Prof Mahardika mengatakan, ruangan ber-AC dan kering, virus bakal lebih tahan di udara, hal ini lah yang perlu diketahui.
“Di ruangan tertutup, ber-AC, kelembaban rendah, kering, suhu rendah, virus lebih tahan lama, apalagi over crowded keramaian. Itu risikonya jauh lebih tinggi,” kata dia.
Bagaimana perkembangan Covid-19 saat ini dijelaskan Prof Mahardika, sejak Maret 2022 kasus cenderung konsisten stabil yang artinya rendah tidak ada lonjakan.
Dalam kata lain, disebutkannya, pandemi Covid-19 terkendali. Namun tak boleh berpuas diri dulu.
“Presiden pasti sudah memikirkan pertimbangan bagaimana risiko terhadap letupan jumlah orang yang perlu perawatan di rumah sakit. Hanya saja apakah ini berlangsung lama, perlu dipantau 3 bulan. Paling tidak asumsi mulai menurun akhir Maret sehingga dipantau 3 bulan berikutnya apakah kondisi konsisten semakin membaik,” ujar dia.
Masyarakat Indonesia agaknya patut bersyukur banyak hal yang menyumbang penurunan kasus.
Pertama, mendapat anugerah suhu yang panas dan lembab. Kedua, vaksinasi Covid-19 yang percepatannya gencar dilakukan dan PPKM. Dan ketiga ialah alam dan Omicron.
“Kenapa Omicron, karena Omicron menyediakan vaksin alami. Malam ini pergilah ke tempat ibadah masing-masing untuk puji syukur end of the game. Omicron muncul ini kemungkinan jackpot umat manusia, pandemi akan berakhir,” ucapnya.
Lantas kapan pandemi di Indonesia menjadi endemic, menurutnya, ada dua hal yang perlu diketahui dari endemic. Dari factor scientific dan politis serta peran WHO dan pemerintah dalam hal ini.
“Endemi per definisi scientific kita perlu memantau paling tidak dalam periode tertentu tidak bisa hanya satu hari, satu bulan minimal 3 bulan bisa dipantau perkembangannya setiap 3 bulan. Secara politis, ada dimensi lain yang tidak bisa saya sampaikan, umumnya ada peran WHO dan pemerintah Indonesia, bisa saja tidak hanya melihat keadaan sekarang, tetapi melihat risiko semua penduduk satu negara, tapi ada penduduk negara lain yang masih memiliki risiko. WHO harus melihat secara keseluruhan,” ujarnya.
Prof Mahardika mengungkapkan, dirinya sempat terpapar Covid-19 Varian Omicron yang tidak dikhawatirkannya, karena Omicron merupakan jackpot akhir dari pandemi Covid-19. “Saya pernah kena Omicron. Hanya sakit ringan dua hari. Hari ketiga sudah diminta wawancara media tv nasional. Saya optimistis. Jackpot itu muncul dan terbukti,” katanya. (ian)
Baca juga: Hanya Kepada Satu Orang Menterinya, Presiden Soeharto Menulis Ucapan Ulang Tahun. Ini Suratnya