Setelah Aswanda lulus kuliah dan menikah, kemudian dirinya merintis usaha bersama dengan sang istri.
"Awalnya dulu masih ambil dari orang (reseller), jualan keliling, kemudian semakin berkembang, pada tahun 2001 sampai 2002 mulai produksi sendiri," ujarnya saat ditemui TribunSolo.com, Rabu (21/9/2022).
Yang namanya usaha, pasti ada proses naik turunnya atau jatuh bangun.
Dan benar, tiga tahun setelah produksi sendiri tak lantas usahanya berjalan mulus, pada tahun 2004 usahanya sempat mengalami penurunan.
Kemudian mencoba bangkit, dan kemudian usahanya terpuruk lagi pada tahun 2007.
Setelah itu, usahanya mulai berjalan dengan baik, dan bisa mempekerjakan sebanyak 50 karyawan dengan memberdayakan warga desanya.
Usahanya kembali terpuruk kala pandemi covid-19.
Dia terpaksa mengurangi karyawan dan hanya tersisa 10 orang saja kini. Sekarang Aswanda mencoba kembali bangkit.
Produk batiknya ada beragam, mulai dari printing, tulis, cap dan kombinasi tulis.
"Pemasaran tidak hanya di Sragen saja, di kota-kota besar, ke Jakarta, Surabaya, Yogyakarta," terangnya.
"Belum go internasional, baru pasar lokal saja," tambahnya.
Batik Windasari mempertahankan pakem khas Jawa dengan warna cokelat alamnya.
"Ciri khasnya warga alamnya, pakai warna asli, warna cokelat, sama motifnya pakem khas Jawa," kata Aswanda.
"Motifnya Sidomukti, tumurun, dan trumtum, memang sengaja mempertahankan pakem lama sampai sekarang," imbuhnya.