TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyampaikan hasil investigasi yang dilakukan terhadap kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga di Kabupaten Mimika Papua.
Wakil Koordinator KontraS Rivanlee Anandar menjelaskan pola kejahatan yang terjadi dalam struktur kasus tersebut.
Pertama, kata dia, tindakan aparat negara yang melakukan stigmatisasi terhadap keempat korban dengan menuduh mereka terlibat KKB merupakan tindakan yang berulang untuk memberikan legitimasi pembunuhan terhadap warga sipil tanpa pernah dibuktikan di pengadilan.
"Kedua, upaya stigmatisasi dengan mengaitkan korban terafiliasi KKB yang dibangun aparat negara digunakan untuk menyembunyikan fakta peristiwa yang terjadi," kata Rivanlee saat konferensi pers di kantor KontraS Jakarta Pusat pada Jumat (23/9/2022).
"Akibatnya, fakta peristiwa yang sebenarnya kerap tidak terungkap ke hadapan publik sehingga menyebabkan adanya informasi yang tidak berimbang," sambung dia.
Ketiga, kata dia, aparat penegak hukum seringkali mengindikasikan adanya aktivitas jual beli senjata sebagai rangkaian dari suatu tindak pidana.
Hal tersebut, menurut KontraS merupakan penggiringan opini agar publik pecah fokus terhadap peristiwa sebenarnya.
Padahal, kata dia, tidak ada bukti kredibel yang membuktikan bahwa terdapat jual beli senjata.
Keempat, lanjut dia, terdapat tindakan penghilangan barang bukti untuk mengaburkan kejahatan yang dilakukan para tersangka.
Baca juga: KontraS Desak Para Pelaku Mutilasi 4 Warga di Mimika Dikenakan Pasal Perlindungan Anak
Perbuatan penghilangan barang bukti tersebut, kata dia, juga mengakibatkan proses hukum yang dilakukan oleh penyidik tidak didasarkan pada alat bukti yang lengkap.
Kelima, menurutnya proses hukum terhadap para pelaku militer kerap diadili melalui peradilan militer dan bukan peradilan umum.
Proses yang tidak transparan serta akuntabel, kata dia, berpotensi penghukuman terhadap para pelaku tidak maksimal.
Jika ditinjau lebih jauh, lanjut dia, rantai kekerasan yang tak kunjung usai, terlebih yang dilakukan oleh militer di Papua merupakan masalah struktural.
Cara pandang yang meminggirkan aspek kemanusiaan dan menyepelekan nyawa OAP, menurutnya telah membudaya di tubuh militer.