TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pakar psikologi forensik yang juga seorang Konsultan Yayasan Lentera Anak Reza Indragiri Amriel angkat bicara terkait kasus asusila yang menimpa remaja wanita (15) di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Apalagi kasus tersebut menjadi kontroversi setelah Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Pol Agus Nugroho menyebut peristiwa yang dialami remaja wanita itu adalah persetubuhan bukan perkosaan.
Menurut Reza, dari sisi istilah, dalam UU Perlindungan Anak yang ada adalah persetubuhan dan pencabulan. Kosakata pemerkosaan tidak digunakan pada UU tersebut.
Baca juga: Nasib Ipda MKS, Oknum Polisi Diduga Terlibat Kasus Asusila Remaja di Parigi Moutong, Sudah Ditahan
Apakah persetubuhan bisa disetarakan dengan perkosaan?
Persetubuhan dengan anak, dalam istilah asing, adalah statutory rape. Rape adalah pemerkosaan.
"Istilah statutory rape dipakai untuk mempertegas sekaligus membedakannya dengan rape. Pada rape, kehendak dan persetujuan kedua pihak ditinjau. Rape hanya terjadi ketika salah satu pihak tidak berkehendak dan tidak bersepakat akan persetubuhan yang mereka lakukan. Hal sedemikian rupa tidak berlaku pada anak-anak. Kendati--anggaplah--anak berkehendak dan bersepakat, namun serta-merta kedua hal tersebut ternihilkan. Anak tetap dianggap tidak berkehendak dan tidak bersepakat. Sehingga, apa pun suasana batin anak, ketika dia disetubuhi, serta-merta dia disebut sebagai korban pemerkosaan atau korban persetubuhan," terang Reza.
Baca juga: Oknum Polisi Terlibat Kasus Asusila di Parigi Moutong Belum Jadi Tersangka, Polisi: Minim Alat Bukti
Jadi, kata Reza jangan risau pada diksi yang polisi pakai. Menurutnya, polisi justru berdisiplin dengan istilah yang dipakai dalam UU Perlindungan Anak.
Siapa pun yang menyetubuhi anak tersebut, dikatakan Reza, termasuk anggota Brimob sekalipun, niscaya diposisikan sebagai pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Apa jenis kejahatan seksualnya?
"Jawabannya, persetubuhan dengan anak. Atau, statutory rape alias pemerkosaan yang ditentukan sepenuhnya oleh hukum, bukan oleh ketiadaan kehendak dan kesepakatan dari pihak korban," tuturnya.
"Terkait nasib pelaku, tidak berat untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada mereka. Termasuk hukuman mati. Alasannya, terutama karena korban sampai menderita masalah fisik sedemikian seriu," katanya.
Reza menjelaskan, tinggal lagi kondisi korban. Dia berusia 15 tahun. Artinya, secara fisik, tubuhnya sudah mengenal sensasi seks. Juga, perkosaan berlangsung berulang dalam kurun yang panjang dengan modus iming-iming imbalan dan sejenisnya.
Dengan kondisi seperti itu, penting dicari tahu apakah korban mengalami perkosaan dengan perasaan menderita ataukah biasa saja atau justru menganggapnya sebagai aktivitas transaksional dengan tujuan instrumental (memperoleh keuntungan).
"Sebetulnya, apapun kondisi korban, dia tetap berstatus korban dan pelakunya tetap harus dipidana. Tapi pengetahuan tentang kondisi mental korban dibutuhkan dalam rangka menyusun program penanganan yang tepat bagi dirinya," ujarnya.
Baca juga: Satu dari 11 Pelaku Persetubuhan Anak di Parigi Moutong Sulsel Berstatus Mahasiswa
Masih kata Reza, pengetahuan tentang hal itu boleh jadi terkesampingkan. Terindikasi dari informasi si pendamping yang berkutat semata-mata pada kondisi fisik korban. Mungkin, saking ekstrimnya masalah fisik si korban, pendamping serta-merta meyakini bahwa korban mengalami perkosaan dengan penuh penderitaan.
"Coba tanya para pelaku: kira-kira berapa umur korban? Apakah para pelaku menilai korban sudah berusia 18 tahun ke atas? Apakah--maaf--korban kadung dikenal sebagai perempuan yang mau atau biasa diajak melakukan kontak seks secara transaksional?" tanyanya.
"Jika para pelaku meyakini korban berusia di atas 18 tahun dan korban dikenal bereputasi sedemikian rupa, relevankah hal tersebut diangkat sebagai argumentasi pembelaan diri para terdakwa di ruang sidang?" tandasnya.
Kasus Persetubuhan
Kapolda Sulawesi Tengah (Sulteng) Irjen Pol Agus Nugroho mengatakan, kasus asusila pada remaja wanita (15) di kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah bukan sebagai tindakan pemerkosaan.
Irjen Pol Agus Nugroho menyebut peristiwa yang melibatkan 11 laki-laki ini merupakan kasus persetubuhan.
"Sebab, tidak ada unsur pemaksaan maupun ancaman. Saya berharap mulai hari ini kita tidak lagi memberitakan dengan menggunakan istilah pemerkosaan ataupun rudapaksa," ucapnya saat konferensi pers di Mako Polda Sulteng, Jl Soekarno Hatta, Kelurahan Tondo, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu, Rabu (31/5/2023).
Kapolres Parim AKBP Yudy Arto Wiyono mengatakan, kasus asulia yang terjadi pada anak di bawah umur berinisial RI (16) di tempat yang berbeda-beda.
"Jadi ada beberapa tempat kejadian asusila itu dilakukan, kejadiannya ini mulai dari April 2022 dan Januari 2023," ucapnya dikutip TribunPalu.com dari akun youtube Polres Parigi Moutong.
Berdasarkan rangkaian penyelidikan dan penyidikan, pelaku EK alias MT melakukan persetubuhan terhadap korban sebayak 2 kali sejak Desember 2022 hingga Januari 2023 di rumah pelaku Desa Dolago, Kecamatan Parigi Selatan.
Baca juga: Alasan Kapolda Sebut Kasus Viral di Parigi Moutong Bukan Pemerkosaan: Tidak Ada Unsur Pemaksaan
Selanjutnya, peran inisial ARH alias AF (oknum guru) melakukan persetubuhan kepada korban sebanyak enam kali sejak April 2022 hingga Januari 2023 di berbagai tempat termasuk di Sekret Perumahan Adat Desa Sausu Taliabo.
Peran AR melakukan persetubuhan kepada korban sebanyak empat kali sejak Mei 2022 sampai Desember 2022 termasuk di Sekret Perumahan Adat Desa Sausu Taliabo.
Untuk inisial AK perannya melakukan persetubuhan kepada korban sebanyak 4 kali dan HR (oknum Kades) menyetubuhi korban sebanyak 2 kali di berbagai tempat.
Adapun barang bukti yang disita polisi dari kasus itu yakni 1 lembar celana pendek hitam milik korban, 1 lembar kaos lengan pendek warna ungu dan 1 lembar celana panjang kain kotak-kotak warna cokelat yang juga milik korban.
Polisi juga menyita dua unit kendaraan roda empat beserta 1 lembar STNK.
"Jadi barang bukti kendaraan ini karena jadi tempat persetubuhan anak di bawah umur," ujar AKBP Yudy Arto Wiyono.
Yudy menambahkan, modus dari kelima orang ini, sebelum melakukan persetubuhan, pelaku memberikan iming-iming uang dari Rp 50 ribu hingga Rp 500 ribu.
Bahkan ada yang memberikan makanan, pakaian serta handphone kepada korban.
Baca juga: Kasus Remaja 16 Tahun di Parigi Moutong Disebut Persetubuhan, Oknum Polisi yang Terlibat Ditangkap
Korban Jalani Operasi Angkat Rahim
Perbuatan 11 pria bejat di Sulawesi Tengah memperkosa gadis 15 tahun berujung fatal.
Nasib gadis 15 tahun korban pemerkosaan 11 pria itu menurut pihak RS harus menjalani operasi angkat rahim.
Pihak rumah sakit mengungkap kondisi terkini sang anak yang kembali masuk UGD.
Tampaknya, gadis 15 tahun ini harus segera menjalani operasi pengangkatan rahim.
Proses hukum terus berjalan, gadis 15 tahun ini akan segera menjalani berbagai proses penyembuhan.
Kini gadis remaja itu harus menghadapi operasi pengangkatan rahim.
Bahkan kondisinya saat ini sedang menjalani operasi tumor rahim.
Pendamping hukum korban dari Unit Pelaksana Teknis Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (UPT DP3A) Sulteng, Salma, mengatakan korban dirujuk ke rumah sakit di Kota Palu.
Korban disebut akan menjalani operasi tumor rahim.
"Korban saat ini mengalami insersi akut di rahim dan ada tumor. Dan ada kemungkinan rahim anak ini akan diangkat," ujar Salma.
Salma turut mengungkap kondisi korban yang harus kembali mendapatkan perawatan intensif di UGD rumah sakit Palu.
Sebab, korban kembali mengeluh sakit di bagian perut dan kemaluan.
Pihaknya juga membenarkan kondisi kesehatan korban terganggu setelah mengalami tindakan pemerkosaan oleh 11 terduga pelaku.
Berdasarkan pemeriksaan medis, korban saat ini mengalami gangguan reproduksi.
"Iya, pastinya iya karena kejadian ini kan setahun lalu kemudian pascakejadian itu anak ini kemudian mengalami gangguan reproduksi dan menurut dokter kejadian pemerkosaan oleh 11 orang itu memperparah gangguan reproduksi korban," imbuhnya.
Baca juga: Profil Irjen Agus Nugroho, Kapolda Sulteng yang Disorot dalam Kasus Asusila Remaja di Parigi Moutong
Beda Pemerkosaan dan Persetubuhan
Persetubuhan dan pemerkosaan sering kali dianggap sama.
Namun pada pidana anak, persetubuhan tetap dijatuhi hukuman.
Menurut KHUP, persetubuhan adalah perbuatan alat kelamin laki-laki dengan alat kelamin wanita dimana seluruh penis masuk keliang senggama dengan air mani (spermatozoa).
Persetubuhan dewasa atas dasar suka sama suka serta dengan kesadaran penuh, maka tidak dapat dilakukan penuntutan pidana.
Sementara pemerkosaan adalah segala bentuk pemaksaan hubungan seksual yang dapat mengakibatkan cedera fisik serta trauma emosional dan psikologis.
Artinya menurut KUHP pasal 285, pemerkosaan hanya sebatas tindakan pemaksaan penetrasi penis ke lubang vagina yang dilakukan pria kepada wanita.