TRIBUNNEWS.COM - Kasus persetubuhan anak di bawah umur yang terjadi di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah (Sulteng) dilakukan oleh 11 orang pelaku.
Salah satu pelaku merupakan oknum anggota Polri berinisial MKS yang bertugas di Satuan Brimob.
Oknum polisi dengan pangkat Inspektur Dua (Ipda) tersebut kini telah ditahan dan ditetapkan sebagai tersangka.
Kapolda Sulteng, Irjen Pol Agus Nugroho menegaskan Ipda MKS sudah tidak lagi berdinas di Satuan Brimob setelah menjadi tersangka kasus persetubuhan anak.
Baca juga: Remaja Korban Rudapaksa di Parigi Moutong Ajukan Perlindungan ke LPSK, Diduga Ada Tindak Pidana Lain
“Kita tahan di Mapolda Sulteng malam ini. Sudah tidak di Satbrimob lagi ditahan,” ujarnya, Sabtu (3/6/2023), dikutip dari TribunPalu.com.
Menurut Irjen Pol Agus Nugroho penahanan terhadap Ipda MKS dilakukan setelah adanya tambahan alat bukti.
Selain itu, petugas kepolisian telah mendapatkan keterangan dari saksi yang mendukung pengakuan korban terkait keterlibatan Ipda MKS dalam kasus ini.
"Oknum anggota polri tersebut selesai dimintai keterangan dan malam ini juga langsung kita tetapkan sebagai tersangka," jelasnya.
Irjen Pol Agus Nugroho menegaskan dirinya tidak pandang bulu dalam menangani kasus persetubuhan yang dialami gadis 15 tahun berinisial RI.
Penetapan Ipda MKS sebagai tersangka merupakan komitmen dari Polda Sulteng untuk menyelesaikan kasus ini.
Baca juga: Awal Gadis 16 Tahun di Parigi Moutong Kenal Ipda MKS hingga Dirudapaksa, Minta Tolong Cari HP Hilang
"Penetapan ini sebagai bukti kalau Polda Sulteng tidak akan pandang bulu menangani kasus ini."
"Dan tentu penanganan perkara ini tidak ada diskriminasi, profesional-proporsional. Sesuai yang saya sampaikan kemarin," tuturnya.
Diketahui, kasus persetubuhan terhadap gadis 15 tahun dilakukan oleh 11 orang pelaku dan berlangsung sejak April 2022 hingga Januari 2023.
Pertemuan antara Ipda MKS dengan korban berawal ketika korban meminta oknum polisi tersebut mencari ponselnya yang hilang.
Keduanya saling bertukar nomor, kemudian berlanjut Ipda MKS menyetubuhi korban.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Ipda MKS melakukan persetubuhan dalam kondisi mabuk.
Bukan Kasus Rudapaksa
Sebelumnya, Irjen Pol Agus Nugroho mengatakan kasus persetubuhan tidak dilakukan para pelaku secara bersamaan.
Kasus yang dialami korban dinyatakan bukan kasus rudapaksa, tapi kasus persetubuhan anak di bawah umur.
Dalam kasus ini diduga ada transaksi antara para pelaku dengan korban berupa hadiah atau uang.
"Saya berharap mulai hari ini kita tidak lagi memberitakan dengan menggunakan istilah pemerkosaan ataupun rudapaksa," tegasnya, Rabu (31/5/2023).
Menurutnya unsur pemaksaan, kekerasan hingga ancaman tidak ditemukan sehingga kasus ini tidak dapat dikategorikan kasus rudapaksa.
"Kasus itu terjadi sejak April 2022 sampai dengan Januari 2023 dan dilakukan di tempat yang berbeda-beda dalam waktu yang berbeda-beda," sambungnya.
Dalam kasus persetubuhan anak di Parigi Moutong, polisi telah mengamankan 10 pelaku.
Para pelaku yakni HR (oknum kades), ARH alias AF (oknum guru SD), AK, AR, Ipda MKS, FN (Mahasiswa), K alias DD, MT, AA dan AS.
Selain itu, masih ada 1 pelaku yang hingga kini masih buron yakni AW.
Baca juga: UPDATE Kasus Asusila di Parigi Moutong, Korban IR Kemungkinan Tak Perlu Operasi Pengangkatan Rahim
Kata Pengamat
Sementara itu, Konsultan Yayasan Lentera Anak, Reza Indragiri Amriel mengatakan tidak ada istilah rudapaksa dalam UU Perlindungan Anak, tapi yang ada istilah persetubuhan dan pencabulan.
Menurutnya istilah yang digunakan kepolisian dalam kasus ini sudah benar yakni persetubuhan dengan anak.
Sementara pelaku dalam kasus ini dapat disebut dengan pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
Ia menambahkan para pelaku dapat dihukum dengan hukuman maksimal karena korban menderita masalah fisik sedemikian serius.
"Terkait nasib pelaku, tidak berat untuk menjatuhkan hukuman maksimal kepada mereka. Termasuk hukuman mati," jelasnya, dikutip dari rilis yang diterima Tribunnews.com.
Korban harus diperhatikan kondisinya setelah mengalami persetubuhan yang dilakukan sejumlah pelaku termasuk salah satunya anggota polisi.
Baca juga: RSUD Undata: Kondisi Korban Asusila oleh 11 Pria di Parigi Moutong Mulai Membaik
"(Kasus persetubuhan) berlangsung berulang dalam kurun yang panjang dengan modus iming-iming imbalan dan sejenisnya."
"Dengan kondisi seperti itu, penting dicari tahu apakah korban mengalami perkosaan dengan perasaan menderita ataukah biasa saja atau justru menganggapnya sebagai aktivitas transaksional dengan tujuan instrumental (memperoleh keuntungan)," terangnya.
Jika dalam kasus ini korban mendapat imbalan dari pelaku, statusnya tetap korban dan para pelaku tetap harus dipidana.
Untuk menyusun program penanganan kasus ini, perlu adanya pengetahuan tentang kondisi mental korban.
(Tribunnews.com/Mohay) (TribunPalu.com/Rian Afdhal)