TRIBUNNEWS.COM, SLEMAN- Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) mengungkapkan mendian Redho Tri Agustian sebelumya melakukan penelitian terkait LGBT.
Redho adalah korban mutilasi setelah melakukan aktivitas kekerasan tidak wajar dengan Waliyin (29) dan RD (38) di kamar kosnya.
Baca juga: Polda DIY Lakukan Digital Forensik Ponsel Tersangka Pelaku Mutilasi
Keterangan terkait penelitian Redho tersebut disampaikan Wakil Rektor V Bidang Kerjasama dan Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof Dr Achmad Nurmandi.
"Jadi memang Sedang meneliti orang harus mencari informasi, mungkin masuk to ke kelompok kayak gitu itu," kata Nurmandi saat dihubungi melalui telepon, Kamis (27/6/2023).
Dijelaskannya, Redho sudah melakukan penelitian selama 3 bulan.
"Cuma namanya masuk ke kelompok itu kan susah," kata dia.
Sebenarnya, Redho tidak hanya meneliti tentang LGBT. Dia juga meneliti kelompok-kelompok unik di Yogyakarta lainnya. Misalnya saja kelompok radikal.
Menurut Nurmandi, Redho indikasinya masuk ke dalam lingkaran mereka untuk melakukan penelitian.
"Ya indikasinya seperti itu lho kalau misalnya dia itu LGBT Ndak mungkin. Nggak sejajar kok itu kan pengangguran kabeh sik pelaku. Kalau LGBT itu kan sejajar mahasiswa dengan mahasiswa," kata dia.
"Jadi itu yang gak wajar (perbedaan status sosial) begitu, makanya karena informasi dari pelaku, karena korban yang sudah meninggal," kata Nurmandi.
Baca juga: Keluarga RTA Korban Mutilasi di Sleman Buka Suara: Sebut Pelaku Bukan Manusia, Minta Dihukum Mati
Saat ini pihaknya sedang mencari informasi lebih mendalam terkait hal ini.
"Kita mencari informasi apa yang dialakukan termasuk riset. Kita kan sedang cari, mendalami toh dia sudah masuk ke berapa informan segala macam. Karena laptopnya masih di Polda DIY, kita belum tahu," kata dia.
Gabung komunitas tidak wajar
Polisi sebelumnya mengungkapkan Redho berada dalam satu grup dengan kedua pembunuhnya, Waliyan dan RD.
Waliyan diketahui warga asal Kajoran Magelang dan RD asal Jakarta Selatan.
Sebelum pertemuan ketiganya di kosan wilayah Krapyak, Triharjo, Kabupaten Sleman, Waliyin mengundang RD asal Jakarta datang ke Yogyakarta.
Baca juga: Keluarga RTA Korban Mutilasi di Sleman Buka Suara: Sebut Pelaku Bukan Manusia, Minta Dihukum Mati
"Karena mereka gabung dalam komunitas yang tidak wajar, mereka melakukan kegiatan berupa kekerasan,"kata Dirkrimum Polda DIY Kombes Pol FX Endriadi, Selasa (18/7/2023).
"Kekerasan satu sama lain dan terlalu berlebihan, sehingga mengakibatkan korban meninggal dunia,"lanjut Endriadi.
Setelah melihat korban meninggal dunia para pelaku ini panik.
Kemudian berniat menghilangkan jejak peristiwa setelah korban meninggal dunia.
Mereka melakukan upaya pemotongan atau mutilasi dengan diawali memotong kepala, pergelangan tangan dan kaki, memotong bagian tubuh.
Baca juga: Kronologi Lengkap Kasus Mutilasi di Sleman, Korban dan Pelaku Bertemu hingga Malam Eksekusi
Bahkan polisi juga menyebut pelaku menguliti korban.
Guna menghilangkan jejak, pelaku merebus bagian tertentu guna menghilangkan sidik jari.
Redho adalah mahasiswa berprestasi
Rektor UMY, Gunawan Budiyanto mengatakan Redho adalah sosok mahasiswa yang berprestasi.
"Kita sudah mengumpulkan teman-temannya satu organisasi kemahasiswaan, mereka mengatakan tidak ada yang aneh. Bahkan para mahasiswa bilang, korban adalah penerima hibah penelitian dari lembaga kemahasiswaan,” ujarnya, Selasa (25/7/2023).
Rektor menyebut bahwa Redho adalah mahasiswa yang berprestasi, bahkan sejak dari SMA sudah aktif di kepramukaan lalu sampai di tingkat kampus.
Selain aktif di pramuka, Redho juga disebut bersosialisasi dengan baik, misalnya terlibat dalam rapat-rapat mahasiswa.
Baca juga: Keluarga RTA Korban Mutilasi di Sleman Buka Suara: Sebut Pelaku Bukan Manusia, Minta Dihukum Mati
“Sedih karena anak ini baik-baik saja, dan sering ikut rapat penerimaan mahasiswa baru 2023,” tuturnya.
Berkaca dari kasus ini, Gunawan mengungkapkan pihaknya mencoba membuat mekanisme agar kampus bisa dapat memahami masalah yang dialami mahasiswa.
Menurutnya masalah keterlambatan kuliah, terlambat ikut ujian atau mengumpulkan tugas, termasuk kesulitan ekonomi adalah hal yang umum ditemukan di sebuah kampus namun masalah yang sifatnya pribadi jarang terungkap.
Bagi kami peristiwa mutilasi ini menyadarkan kita bersama bahwa ternyata kampus harus lebih bisa memahami kondisi psikologis mahasiswa,” katanya.
Maka dari itu, saat ini UMY tengah melakukan rekrutmen untuk program konselor sebaya.
Ditargetkan akan ada 1000 konselor sebaya yang akan aktif mendampingi dan menampung keluhan mahasiswa.
Dengan demikian, harapannya tak akan ada lagi kasus seperti ini, mahasiswa dapat saling berbagi, dan dapat menyelesaikan masalah yang dialami.
“Ini yang akan kita lakukan,mudah-mudahan ini bisa memetakan kejiwaan dari mahasiswa,” tukasnya. (Tribun Jogja/Kompas.com)